Dunia teknologi terus maju sampai
hari ini bagaikan ombak yang sulit dibendung. Perkembangannya teknologi yang
semakin canggih juga semakin mempermudah manusia dalam mengerjakan segala
sesuatu. Bagi negara maju, masyarakatnya biasa saja dalam memanfaatkan sebuah
teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan Indonesia yang
masyarakatnya kagetan dan sangat konsumtif dalam menyikapi sesuatu.
Ambil contoh, perkembangan gadget
yang hampir setiap hari ada produk terbaru dan menggoda untuk dimiliki.
Masyarakat Indonesia yang sangat mudah terpengaruh iklan, semakin gelisah jika
tidak memiliki gadget keluaran terbaru, meskipun tidak terlalu dibutuhkan.
Kasus semacam ini sudah biasa bagi masyarakaat Indonesia yang konsumtif. Hampir
setengah dari penduduk Indonesia bahkan telah memiliki gadget baik anak kecil
sampai orang tua. Gadget sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia
yang harus selalu dibawa kemana pun.
Fenomena semacam ini juga
memunculkan fenomena baru yaitu beralihnya dunia nyata ke dunia maya (medsos)
yang palsu. Masyarakat Indonesia lebih senang berinteraksi di medsos daripada
di lingkungan kesehariannya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh LSM
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah yang paling aktif berbicara atau
berkomentar di medsos. Belum lagi kegemaran masyarakat Indonesia berfoto yang
itu menjadi peluang bisnis bagi perusahaan gadget dunia untuk memasarkan
produknya di Indonesia. Masyarakat Indonesia ini sedikit-sedikit update status
di medsos atau upload foto yang itu
tidak jelas maksudnya.
Saat nongkrong atau ngopi bareng pun
tak jarang masih mainin gadget dan jarang ngobrol bareng. Ada istilah bahwa
“menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh” sebagai kritik terhadap budaya
nunduk saat nongkrong bareng. Entah penyakit apa yang sedang dialami masyarakat
Indonesia saat ini, gadget selalu menjadi nomor satu dibanding orang yang
sedang berada dihadapannya. Bahkan saat ngobrol pun sambil ngelihat gadget dan
terkadang obrolan jadi tidak semenarik obrolan chat di medsos.
Fenomena semacam ini tentu sangat
membawa dampak buruk bagi masyarakat secara umum. Kegemaran berkomentar di
medsos tidak jarang menimbulkan konflik dan pencemaran nama baik seseorang atau
kelompok tertentu. Belum lagi banyaknya berita hoax yang beredar semakin
memperparah keadaan dan stabilitas kerukunan masyarakat Indonesia. Sangat
disayangkan melihat fenomena yang membodohkan seperti ini.
Saya sempat menjadi korban dari
budaya gadget yang membuat penggunanya nunduk dan mengabaikan orang di
depannya. Disaat saya tidak memiliki gadget dan hanya Hp Nokia jadul, seolah
saya berada di neraka. sangat sulit untuk ngajak ngobrol teman yang sedang
asyik ngutak-atik gadget dan berada di dunia mayanya. Aneh tapi juga lucu
sekaligus menjengkelkan ketika semua teman ngopi nunduk sambil mainin gadget
dan saya sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Ngajak ngobrol teman tapi lama
ditanggapi, kalaupun ditanggapi terkadang tidak nyambung. Waktu 30 menit
melihat semua teman yang nunduk itu dan saya sendiri tidak ada gadget untuk
dimainin, serasa hidup di tengah hutan tanpa teman.
Terkadang dalam keadaan sedang rapat
atau disksi organisasi, banyak dari peserta rapat hanya sibuk ngutak-atik
gadget dan mengabaikan rapat atau diskusi. Bahkan sering saya dan beberapa
teman memberlakukan sebuah aturan larangan membuka gadget saat rapat agar
semuanya dapat fokus pada saat rapat sedang
berlangsung. Meskipun telah dibuat aturan bersama, tetap saja banyak
yang ngeyel tetap buka gadget selama rapat, sehingga terkadang rapat tidak
menemukan titik temu atau jalaan keluar dari permasalahan yang dibahas.
Bahkan ada salah satu teman saya
yang itu maniak gadget. Dimana pun dan kapan pun serta dalam kondisi bagaimana
pun ia tetap memegang gadget. Saat lagi ngopi, diskusi, ngobrol bareng, ia
tetap fokus pada gadgetnya meskipun sering ditegur oleh teman yang lain. Ia
termasuk orang yang pendiam ketika lagi kumpul bareng, tapi disaat yang sama ia
juga paling sering berkomentar kalau di medsos. Teman saya yang satu ini
merupakan korban dari gadget dan menjadi generasi penunduk. Saya sendiri
prihatin kepada teman saya yang satu ini sekaligus jengkel, meskipun sudah
sering dinasehati berkali-kali.
Menanggapi fenomena menunduk massal
ini dan kurangnya obrolan secara langsung sesama individu di dunia nyata,
membuat beberapa warung kopi turut memerangi fenomena ini. Warung kopi yang ada
di sekitar Kebun Laras membuat berbagai slogan menarik seperti; awas deficit ngobrol dan ngopi, selamat
menunaikan ibadah ngopi, dan ada juga yang menghias ruangan dengan gambar
yang menyilang symbol-simbol sosmed. Cara-cara yang dilakukan oleh beberapa
warung kopi untuk memerangi budaya gadget patut untuk diapresiasi.
Pengaruh gadget yang menyebabkan
generasi menunduk perlu disikapi secara bersama oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Fenomena semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena akan
semakin merusak mental generasi muda bangsa Indonesia. Sebagai bangsa
Indonesia, kita harusnya malu karena sampai hari ini bangsa kita masih menjadi
bangsa yang konsumtif. Sampai kapan bangsa ini terus berada di bawah kaki
bangsa lain dan diperbudak secara ekonomi.