Brutal dan Tumpul

Brutal dan Tumpul




Aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga  (AMUK) serta berhasil menduduki rektorat selama kurang lebih 24 jam. Aksi ini merupakan klimaks dari demontrasi-demonstrasi yang tak juga mendapat respon positif oleh pihak birokrasi kampus. Aksi ini menyuarakan sistem UKT yang penuh kejanggalan dan kontroversi selama diterapkan di PTN khususnya UIN-SUKA selama dua tahun terakhir ini. Isi rektorat menjadi tempat para demonstran mengekspresikan kemarahannya terhadap kinerja birokrasi kampus yang tidak konsekuen dalam mengawal permasalahan UKT.
Aksi mulai anarkis ketika birokrasi yang melaporkan kordum AMUK ke pihak kepolisian dengan tuduhan tindakan perusakan fasilitas kampus. Hal ini membuat beberapa aliansi mahasiswa semakin geram dan mengecam keras birokrasi kampus. Setelah menduduki rektorat selama 24 jam dan banyak fasilitas di kampus yang rusak serta kehilangan barang-barang tertentu, akhirnya aksi ini mendapat tanggapan dari pihak rektorat.
Sekitar pukul 10:00 WIB, rektor dan wakil rektor II mendatangi dan melakukan audiensi degan massa aksi. Setelah mendengar tuntutan massa aksi tang menuntut untuk mencabut tuntutannya di kepolisian serta menanggapi dengan serius permasalahan UKT, proses audiensipun berakhir. Hasilnya ialah pihak rektoratmelayangkan surat ke kementrian Agama sebagai bentuk perwujudan dari tuntuan aksi mahasiswa.

Sisi lain dari Aksi

Aku melihat bahwa aksi yang heroik ini tidak murni karena UKT, tapi karena isu kriminalisasi mahasiswa oleh kepolisisan. Buktinya adalah ketika aksi yang menuntut UKT dihapus atau minimal direvisi oleh pihak rektorat tidak seheroik ini. Cenderung aksi UKT sarat kepentingan politis, baik dari pihak mahasiswa sendiri maupun jajaran birokrasi kampus sendiri. Ini bisa dilihat ketika mahasiswa terus menekan jajaran rektorat untuk memperbaiki sistem UKT, rektor malah mengundurkan diri dan digantikan oleh sekjen kemenag yang hari ini menjadi rektor UIN. 
Bentuk permainan yang dilakukan oleh jajaran rektorat adalah tidak adanya tindak lanjut terkait kesepakatan yang dilakukan oleh warek 2 dan 3 dengan mahasiswa terkait UKT. Di mana pada saat itu rektornya masih Minhaji. Lalu setelah diganti oleh Mahasin, ia mengaku bahwa dia tidak tahu menahu terkait kesepakatan itu. Pertanyaannya adalah, apa peran para warek di jajaran rektorat uin jika kesepakatan yang telah ditandatangani di atas materai 6000 tidak digubris.
Khususnya massa aksi, sangat terlihat bahwa mayoritas pandangan mereka sempit dan tidak mampu membaca peta politik dari birokrasi. Itu terlihat ketika tuntutan terkait kriminalisasi mahasiswa oleh birokrasi dan kepolisian. Yang ditekan adalah birokrasi, mereka harus mencabut tuntutannya.Padahal yang seharusnya dilakukan adalah melabrak kepolisian agar tidak ikut campur dalam urusan apapun di kampus. Karena pendidikan sudah ada undang-undangnya sendiri. Jika saja massa aksi berani memotong gerakan kepolisian di kampus maka birokrasi sudah kehilangan truk politiknya dalam mengekang gerakan mahasiswa. Kalau aksi itu langsung ke kepolisian dan berhasil membangun opini publik, maka kepolisian akan terbelenggu dengan hukum sendiri. Karena telah melanggar undang-undang pendidikan. Tapi yang terjadi pada massa aksi malah sebaliknya. Sehingga birokrasi dapat dengan mudahnya mempermainkan gerakan mahasiswa. Sangat kelihatan bahwa massa aksi takut dengan kepolisian. Perlu diketahui bahwa truk politik birokrasi kampus adalah kepolisisan dan preman. (Edited by Tiara) 
Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama