Laci Gagasan, Opini - Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perlawanan yang panjang dan berdarah-darah, sejak awal ketuntuhan Majapahit sampai akhir tahun 60-an era kemerdekaan. Runtuhnya Majapahit ditandai dengan jatuhnya wilayah maritim terakhir di Tuban yang ditandai dengan masuknya tentara Portugis di wilayah tersebut.
Pada masa awal revolusi kemerdeaan Indonesia pada tahun 1920 sampai 1945 juga tak kalah menariknya untuk dipelajari lebih mendalam, soalnya pada masa ini menjadi titik awal munculnya sebuah negara jajahan yang merdeka dan berdaulat. Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 45 ditandai dengan dibacanya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta di Jakarta.
Sinar baru harapan akan kemajuan sebuah negara bangsa pun muncul disertai dengan awan hitam yang mengintai dibelakangnya. Pertarungan gagasan/ideologi dari berbagai cendekiawan terus mewarnai perdebatan tentang identitas bangsa Indonesia yang pas ditengah perbedaan agama, suku, ras, dan golongan.
Pada dekade awal 1950-an, terjadi perpecahan di tubuh angkatan bersenjata Republik Indonesia. Pasca keberhasilan melawan dan mengusir kolonial Belanda yang kembali ingin menguasi RI, terjadi perdebatan antar Tentara Gerilya dan tentara didikan Belanda (KNIL). Pertikaian ini dilatari oleh keinginan memimpin struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kedua kelompok tentara yang pernah membela Indonesia dengan darah dan keringat dan bersatu mengusir penjajah akhirnya konflik akibat perebutan kursi kepemimpinan/kekuasaan.
Kedua kelompok ini masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya lah yang berhak mengisi puncak kepemimpinan. Karena tak jua menemui titik temu yang jelas, akhirnya mantan gerilyawan ini menarik diri dan melakukan pemberontakan di daerah. Salah satu yang terkenal pejuang dan gerilyawan Indonesia dari Sulawesi (Abdul Qahar Muzakkar) yang menjadi pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di wilayah timur.
Patriot yang Membelot
Siapa yang tidak mengenal sosok Qahar Muzakkar, seorang pejuang gigih nan tangguh yang berani melawan tentara Belanda dan Jepang dengan bermodalkan Golok. Beliau yang dibesarkan di lingkungan pendidikan agama di Solo yang cukup kuat, sehingga kecerdasan agamanya tidak diragukan. Ia juga sempat merasakan pangkat militer sebagai Letnan kolonel dibawah pimpinan Jend. Soedirman. Bersama Jend.Soedirman, Qahar muncul sebagai salah satu pejuang tangguh yang sempat dimiliki Indonesia.
Berikut ini kutipan dari buku Qahar Muzakkar yang ditulis selama masa pemberontakan terhadap NKRI
Entah Soekarno masih ingat atau sudah lupa bahwa di lapangan Ikada Jakarta, pada tanggal 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakyat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakyat penduduk Jakarta dan Barisan Pemuda yang ada di Ikada pada waktu itu, tidak ada seorang pun yang sangup berdiri di muka oto (baca: mobil.) Bung Karno, untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bayonet tentara Jepang, kecuali saya seorang diri dengan sebilah golok di tangan dengan tekad dan nekad mengundurkan tentara Jepang yang sudah penuh membanjir mengelilingi oto Bung Karno dan Bung Hatta dengan bayonet terhunus.
Sejak mula proklamasi 17 Agustus 1945 sampai penyerahan kedaulatan hadiah Belanda pada akhir tahun 1949, dan sampai pada saat buku kecil ini saya tulis, saya adalah salah seorang dari sekian banyak pejuang kemerdekaan Indonesia yang belum tahu dan belum pernah merasakan betapa cita rasa kemerdekaan Indonesia itu.
Rasa sakit hati yang berawal dari terpinggirkannya Qahar Muzakkar dalam lingkaran elite Militer Indonesia membuat dirinya dan banyak simpatisannya memilih jalan mundur melakukan pemberontakan, yang mana pemberontakan tersebut didasari dengan semangat Islam konservatif.
Perlu diketahui bahwa para pendukung/simpatisan Qahar Muzakkar ini memiliki fanatisme agama yang kuat. Selain gaya kepemimpinan yang khas dan banyak dikagumi oleh masyarakat di wilayah pedesaan Sulawesi, ia juga muncul sebagai sosok yang memiliki pengetahuan agama yang kuat dan menjadi sosok yang patut untuk diikuti oleh masyarakat awam pada saat itu. Dengan doktrinasi agama yang kuat terhadap pendukungnya, ia mampu menyulap pengikutnya menjadi kelompok Islam yang keras dan siap mati demi membela keyakinan yang dianggapnya benar.
Qahar Muzaakkar dan pengikutnya sangat keras dalam menyebarkan Syi’ar islam di masyarakat. Komunis menjadi musuh ideologis dan sering terlibat perang berdarah dengan kelompok ini atau orang yang dianggap Komunis. Maklum saja, pada saat itu Komunis muncul sebagai organisasi sekaligus partai politik yang cukup diperhitungkan pengaruhnya di masyarakat akar rumput. Di beberapa tempat di Sulawesi; Toraja timur, Palopo Utara, dan di Maluku Selatan menjadi tempat pertempuran berdarah antara DII/TII melawan kelompok Komunis.
Doktrin bahwa komunis itu kafir dan patut diperangi menjadi arus utama wajah islam dibawah kuasa Qahar Muzakkar. Doktrin bahwa ajaran islam yang dianut oleh DI/TII adalah yang paling benar, maka segala paham yang berseberangan harus ditumpas. Beberapa tawanan perang yang itu non islam, diislamkan secara paksa oleh tentara DI/TII, seperti: Dr. Wahl dan Dr V. D Wetering yang keduanya adalah orang Belanda. Cara-cara seperti ini menunjukkan bahwa islam ala DI/TII sangat radikal dan ekstremis serta anti perbedaan.
Fase sejarah Indonesia di atas menunjukkan bahwa radikalisme agama ini masih mengakar di masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih adanya gerakan islam garis keras yang selalu menolak perbedaan dan melakukan cara-cara kasar, seperti apa yang dilakukan kelompok islam yang mendemo Ahok beberapa waktu lalu.
Sejak dahulu, tidak ada perjuangan yang benar-benar membela islam dan membawa islam mewujudkan misi rahmatan lil alamin di muka bumi. Hampir semuanya adalah kepentingan politik belaka yang menjadikan islam sebagai kendaraan politik yang memiliki daya tawar dan pengaruh kuat. Bagi masyarakat awam, setiap yang berbau agama pasti ditanggapi dengan otot tanpa pikir panjang, karena kurangnya pemahaman tentang agama yang hakiki.
Refleksi pemikiran atas realitas sosial politik dan agama di indonesia
Dimutakhirkan: 1 Oktober 2022