Lagi Gagasan, Sejarah Islam - Sebagai umat Islam, tidak mungkin tidak mengagungkan kejayaan Dinasti Islam terhebat yang pernah ada yaitu Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abassiyah berkuasa selama kurang lebih 5 abad, terhitung sejak 750-1258 Masehi. Tentunya umat Islam di seluruh dunia sangat merindukan bangkitnya kembali kekuasaan Islam yang mapan dan menguasai dunia.
Romantisme sejarah ini, terus menjadi impian seluruh umat Islam di belahan dunia. Mereka berharap dapat kembali merasakan kejayaan itu, meskipun dengan berbagai rintangan dan tantangan yang sangat berat.
Berdirinya kekhalifahan Abbasiyah ditandai dengan rutuhnya kekhalifahan Ummayyah, yang mana penaklukan ini sebatas klaim keluarga semata. Abbasiyah merasa lebih superior dan berhak memimpin umat Islam karenak kedekatan dengan garis keturunannya pada Nabi Muhammad SAW. Jadi pada dasarnya, legitimasi keluarga atau kedekatan garis keturunan yang menjadi penentu utama berkuasanya Dinasti Abbasiyah.
Pertanyaannya, kenapa pertarungan politik kekuasaan semacam ini harus mengatasnamakan garis keturunan dalam merebut kekuasaan?. Padahal sejatinya, Dinasti Abbasiyah bisa membangun kekuasaannya tanpa perlu menjatuhkan Kekhalifahan yang sudah ada. Jika seperti itu, akan sangat mulia dan memang menunjukkan kehebatannya membangun peradaban tanpa privilege klaim keluarga Nabi.
Andai saja kedua Dinasti ini tetap bertahan dan berkembang tanpa harus saling menjatuhkan, mungkin akan berbeda ceritanya. Tetapi memang begitulah sejarah perkembangan Islam, selalu diwarnai peperangan dan penaklukan atas sesama umat Islam sendiri.
Bahkan sejak era ke-Nabi-an, proses dakwah dan syiar Islam pasti selalu ada yang namanya peperangan dan pertumpahan darah sesama bangsa arab. Setelah mereka kalah perang, barulah mereka akan mengakui ke-Nabi-an dan mengikuti ajaran Nabi.
Zaman Khulafaur Rasyidin pun begitu, umat Islam terpecah dalam beberapa sekte. Perdebatan terus terjadi dalam menentukan siapa yang layak memimpin umat Islam sepeninggal Nabi. Padahal ke-empat sahabat ini, tidak perlu diragukan lagi kecakapannya dalam memimpin umat Islam.
Tetapi apa boleh dikata, akhir hayat dari beberapa sahabat ini sangat mengenaskan. Beberapa dari mereka harus mati tragis di ujung senjata umat Islam sendiri, hanya karena perbedaan pandangan politik kekuasaan. Bahkan yang paling menyakitkan bagi umat Islam hari ini adalah tragedi kematian cucu Nabi yang menjadi korban politik kepentingan dan kekuasaan dalam tubuh umat Islam sendiri.
Maka tidak heran jika masa kekhalifahan juga bernasib sama, tumbuh kembang dan ditumbangkan oleh sesama umat Islam sendiri. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dan seakan manjadi tradisi politik kekuasaan dalam Islam.
Dinasti Abbasiyah kemudian diklaim sebagai Dinasti Islam yang sangat berkontribusi dalam pembangunan peradaban dan pengetahuan pada saat itu. Faktor yang paling utama penyebab tumbuhnya peradaban ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah didirikannya tempat-tempat pendidikan, seperti akademi dan perpustakaan. (Galbinst, Yuri. (2010). Islam: dari Rashidin ke Kekhalifahan Abbasiyah. Caceres: Cambridge Stanford Books).
Sebagai umat Islam abangan, saya berusaha mencari sisa-sisa kejayaan Islam di tanah arab. Katanya Islam pernah menguasai dunia serta menjadi pusat peradaban dan pengetahuan pada zaman itu. Tetapi kenyataannya hari ini, hampir tidak ditemukan bukti-bukti atas peradaban yang hebat itu.
Peninggalannya pun hampir tidak ada, entah itu bangunan megah, ataupun hasil dari kemajuan pengetahuan yang bisa dipelajari hari ini.
Pertama soal perbaadan. Era dinasti Abbasiyah diklaim sebagai masa kejayaan dan pusat peradaban dunia, yang berlangsung dalam kurun waktu abad 7-12 M, dengan ibu kota Baghdad (Irak). Tetapi tidak ada satupun bukti yang menguatkan bahwa Baghdad adalah representasi peradaban dunia pada masa itu, padahal kurun waktu tersebut sangat dekat dengan zaman sekarang.
Sebagai perbandingan, Koloseum di Roma Italia yang merupakan hasil peradaban bangsa Roawi yang dibangun awal masehi (70-80 M), masih bisa dilihat dengan mata telanjang serta masih kokoh hingga hari ini.
Di Asia khususnya Nusantara, ada Candi Borobudur yang katanya pula dibangun tahun 800-an masehi. Tidak ada yang tidak mengakui bukti peradaban Nusantara satu ini. Jika mengikuti rentetan sejarah yang ditulis oleh sejarawan, era Abbasiyah sangat mungkin sekali bersentuhan, karena berada pada zaman yang sama.
Abbasiyah tahun 700-1250 Masehi, sedangkan Era Wangsa Syailendra tahun 800-an masehi. Meskipun tidak ada klaim sebagai pusat peradaban dunia, Wangsa Syailendra masih mampu menunjukkan bukti peradabannya hingga hari ini, bahkan diakui dunia.
Juga bangsa Romawi yang mungkin tidak menjadi penguasa atau pusat peradaban dunia, tapi masih mewariskan kepada generasi hari ini bentuk peradaban yang pernah ada pada zaman mereka. Sedangkan Dinasti Abbasiyah sebagai pusat peradaban dunia (katanya), tidak meninggalkan satupun bukti peradabannya.
Sebagai orang Islam, saya merasa risih jika klaim sejarah ini terus disampaikan dalam diskusi ilmiah ataupun dalam pengajian, yang terkesan memaksakan sesuatu tanpa disertai bukti nyata. Masa iya, hal semacam ini harus dipaksakan atas dasar keyakinan dan tauhid serta ego atasnama agama. Bukankah hal itu akan mempermalukan wajah Islam di mata dunia?
Sebagai umat yang sangat cinta agama (dulu), saya terus mencoba mencari kebenaran dan bukti tentang kemapanan Islam sebagai agama dan peradaban dunia. Tetapi semakin saya cari, semakin saya tidak menemukan apa pun selain daripada cerita yang dipaksakan atas dasar keyakinan.
Kedua Pendidikan. Coba lihat realitas hari ini, apakah benar pengetahuan dan pendidikan pusatnya berada di negara Islam?
Pendidikan dan pengetahuan masih dimiliki bangsa barat (Eropa dan Amerika), terbukti dengan banyaknya pelajar dari belahan dunia yang mengenyam pendidikan disana. Begitu pula dengan kemajuan teknologi masih dimiliki barat, tidak satupun negara Islam bisa menandingi. Bahkan umat Islam juga menggunakan teknolgi barat dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak perlu saya sebutkan satu persatu teknologi tersebut, karena sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya.
Sewaktu sekolah dulu, guru saya pernah bilang bahwa sumber pengetahuan ada di Al-Qur’an dan Hadits. Semakin dipelajari akan semakin banyak, semakin digali akan semakin dalam, katanya begitu. Tetapi kenyataan hari ini sangat kontradiktif dengan doktrin yang saya dapatkan.
Jika memang begitu, pertanyaan saya, dimana dalam Al-Quran dan Hadits yang menjelaskan tentang pembuatan senjata nuklir, membangun Gedung pencakar langit, membuat supercar, membuat pesawat, membuat kapal induk, membuat aplikasi FB, Google, atau Unicorn/Star-up.?
Semua kemajuan dan kecanggihan teknologi di atas dibuat berdasarkan ilmu dan pengetahuan para ilmuwan yang tidak bersumber dalam Al- Qur’an dan Hadits. Lalu kenapa selalu digaungkan bahwa Al-Quran adalah sumber segalanya?. Bahkan ajaran atau ilmu bertani tidak ada didalamnya, padahal ini sangat mendasar bagi kehidupan manusia dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Pusat Pendidikan dunia terbaik hari ini berada di negara eropa, yaitu Finlandia. Kenapa tidak di negara Islam?. Kenapa tidak Mesir misalnya, yang katanya memiliki univeristas pertama dan tertua di dunia?. Kemana ilmuan atau cendekiawan Islam yang menguasai dunia pada era Dinasti Abbasiyah?
Apakah hanya karena dikalahkan oleh Mongol, lantas seluruh hasil peradaban dan pengetahuannya hilang ditelan bumi, tak tersisa satupun yang bisa diwariskan?. Lalu apa tolak ukur klaim sejarah yang mengatakan Dinasti Abbasiyah sebagai pusat peradaban dan pengetahuan dunia? Apakah itu memang benar adanya?
Kalau hanya kalah perang dengan Mongol kemudian peradaban bisa hancur lebur tak berbekas, mungkin sebaiknya Bani Abbasiyah bertanya pada Raja Jawa, Bagaimana menundukkan Mongol tanpa harus melakukan perang dan pertumpahan darah yang berarti.
Semakin saya menanyakan kebenaran Islam atas apa yang selama ini diajarkan, semakin saya tidak menemukan jawaban yang bisa diterima akal sehat sebagai manusia berpikir. Harapan saya, semoga ada ilmuan atau pemikir Islam yang bisa menjawab pertanyaan saya, dan saya bisa kembali menjadi umat Islam yang kaffah, sebelum saya semakin kafir.
Penulis adalah Calon Kafir Kaffah