Saya Islam dan Saya Perempuan

Saya Islam dan Saya Perempuan

Islam Memandang Perempuan dalam Peranan Sosial

Laci Gagasan, Gender - Pengetahuan dasar dalam persoalan tentang gender adalah apa definisi dari gender itu sendiri, dan apa bedanya dengan seks (jenis kelamin). Seks (jenis kelamin) merupakan karakteristik biologis yang dimiliki seseorang sejak ia lahir. Dari situlah kita mengenal laki-laki dengan ciri-ciri biologisnya, dan perempuan dengan ciri-ciri biologisnya.

Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan merupakan kodrat tuhan yang tidak dapat kita rubah secara utuh. Sedangkan gender berbeda, gender merupakan ciri khusus yang diidentikkan masyarakat terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya, anak perempuan diidentikkan dengan mainan boneka sedangkan laki-laki diidentikkan dengan mobil-mobilan. Gender terbentuk karena konstruk sosial dan tidak bersifat mutlak dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan.

Gender akan menjadi permasalahan apabila relasi yang ada menimbulkan ketidakadilan atau diskriminasi bagi salah satu pihak. Kondisi ini yang kemudian kita kenal sebagai ketimpangan gender. Ketidakadilan atau diskriminasi berbasis gender tidak hanya dapat menimpa perempuan, tetapi juga bisa menimpa laki-laki tergantung faktor-faktor yang lain yang mempengaruhi relasi mereka.

Tapi mengapa di Indonesia perjuangan kesetaraan gender selalu merujuk pada perempuan? Karena di Indonesia perempuan lebih sering menjadi pihak yang mengalami diskriminasi dan ketidak adilan berbasis gender. Misalnya, kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi, perempuan tidak memiliki ruang aman karena superpower laki-laki.

Lantas bagaimana islam memandang kesetaraan gender?. Di berbagai ceramah tentang perempuan, seringkali disampaikan bahwa surga perempuan ada pada suami. perempuan harus patuh pada suami, harus melayani suami, tidak boleh melawan, harus bersikap lemah lembut, harus menjaga diri. perempuan di rumah saja, takut mengundang fitnah. Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, jadi ibu rumah tangga saja, mengurus anak dan melayani suami saja. Perempuan harus begini, harus begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Perempuan seolah hanya menjadi objek saja dan tidak memiliki hak bahkan untuk dirinya sendiri. tapi, apakah benar begitu islam memandang perempuan?.

Mari kita mengenang kembali masa kedatangan islam. Sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, masyarakat arab disebut sebagai kaum jahiliyah. Mereka menempatkan perempuan pada posisi terendah yang hanya berperan untuk melayani suami dan beranak pinak. Bahkan, ketika istri mereka melahirkan bayi perempuan, mereka merasa terhina dan tidak segan mengubur bayinya hidup-hidup. Setelah islam datang, islam menghapus kejahiliyahan itu. islam memandang semua orang setara, termasuk perempuan.

Tokoh yang paling saya suka ketika membahas tentang islam dan perempuan adalah Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW. Beliau adalah perempuan yang taat beribadah, berbakti pada suami, tetapi beliau juga perempuan yang cerdas, pembisnis yang sukses. Siti Khadijah merupakan potret bahwa perempuan bisa menjadi apa yang dia mau tanpa meninggalkan tanggung jawabnya. Perempuan boleh berkarir, boleh menuntut ilmu setinggi-tingginya, boleh bercita-cita menjadi apa saja. kewajibannya sebagai umat beragama, sebagai seorang istri maupun seorang ibu, tidak harus mengikis haknya sebagai manusia.

Dwi Ratnasari dalam jurnalnya “Gender dalam Perspektif Al-Qur’an” menyebutkan bahwa secara normatif, ada 3 persamaan anatara laki-laki dan perempuan dalam islam. Pertama, persamaan dari segi kemanusiaan.
Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (Q.S. Al-Hujurat, 49:13)
Dalam Q.S Al-Hujarat 49:13 tersebut, Allah menyatakan bahwa yang membedakan manusia adalah ketakwaan dan bukan jenis kelaminnya. Jadi semestinya tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama makhluk tuhan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Berbicara tentang kesamaan laki-laki dan perempuan sebagai manusia, saya teringat statement salah satu content creator, penulis sekaligus aktivis gender, Kalis Mardiasih. Beliau mengatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah makhluk tuhan yang memiliki intelektual dan spiritualitas sebagai manusia utuh, tidak selayaknya hanya dilihat dari segi seksualitasnya saja.

Persamaan kedua yakni laki-laki dan perempuan sama dari segi taklif (kewajiban).
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar…Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar (Q.S. Al-Ahzab, 33: 35).
Dari ayat tersebut bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban untuk beribadah dan mematuhi hukum-hukum agama. Sekalipun dalam relasi suami-istri, meskipun istri diwajibkan untuk mematuhi suami (dalam hal kebaikan), tetapi suami juga berkewajiban mencukupi kebutuhan istri baik lahir dan batin. Keduanya memiliki kewajiban yang setara, tidak menitik beratkan pada salah satu pihak saja.

Sedangkan persamaan yang terakhir yaitu laki-laki dan perempuan sama-sama akan memperoleh ganjaran dari apa yang mereka lakukan.
Bagi para laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. An-Nisa, 4: 32).
Saya tidak setuju bila islam dipandang sebagai agama yang tidak ramah gender, sama halnya dengan ketidak setujuan sama terhadap pemahaman agama yang mengkerdilkan perempuan. Kedatangan islam menghapus penderitaan perempuan di tanah Arab, al-qur’an juga tidak mengutamakan laki-laki daripada perempuan. Islam begitu memuliakan perempuan tanpa mengurangi hak-haknya sebagai manusia. Saya islam dan saya perempuan, saya berhak memiliki cita-cita setinggi-tingginya, saya berhak menentukan keputusan dalam hidup saya.

Halimatus Sakdiyah EM 18102030048/Agama dan Pembangunan Sosial (B)
Dimutakhirkan: 1 Oktober 2022



Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama