Sejarah Terbentuknya Organisasi Intoleran di Lingkungan Pendidikan era Orba

Sejarah Terbentuknya Organisasi Intoleran di Lingkungan Pendidikan era Orba

Source: Kompas

Laci Gagasan, Mahasiswa - Sejak Orba berkuasa pada tahun 80-an dilakukan upaya pengamanan kekuasaan.ekspresi keagamaan yang dianggap bernuansa politik dan membahayakan kekuasaan dihambat dan dihabisi. Kebijakan ini berlaku di semua tingkatan masyarakat tak terkecuali di sekolah. Dalam mengamankan Orba dari berbagai paham agama dan sekuler (yang dikenal dengan istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri) yang mengancam,berbagai upaya dilakukan.

Pengamanan di lingkungan sekolah dilakukan dengan pelarangan berbagai organisasi pelajar selain OSIS dan NKK/BKK di kampus. Akibatnya organisasi pelajar seperti PII (Pelajar Islam Indonesia) IPNU/IPPNU (Ikatan Pelajar Putra/Putri Nahdlatul Ulama) dan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) terpaksa dibekukan kegiatannya di sekolah. Singkat kata, organisasi pelajar tersebut harus angkat kaki dari tempat asalnya. Untuk mengakali kebijakan Orba, organisasi ini putar haluan dengan menyesuaikan diri dan mengubah aktivitas/program dan mengganti nama organisasi.

Proses represifitas Orba menyentuh sampai ke dasar organisasi, semua organisasi diminta untuk mengganti dasar organisasinya  dengan asas tunggal Pancasila. Berbeda denga IPNU/IPPNU dan IPM, PII menolak mengganti dasar organisasinya dan memilih konfrontasi dengan Orba. Sampai pada waktu 17 Juni 1987 PII menjadi organisasi terlarang dan bergerak di bawah tanah.

Arus Utama OSIS di Sekolah

Munculnya OSIS sebagai satu-satunya wadah pengorganisasian/pengkaderan di sekolah, termasuk swasta, organisasi pelajar kelompok moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, semakin kehilangan akarnya di sekolah-sekoklah. Hal ini semakin diperparah karena OSIS dikuasai oleh kelompok-kelompok baru yang berlatar trans-nasional maupun nasional yang secara ideologis bersifat konservatif. Bahkan tak jarang politis dan ekstremis.

Berdasarkan temuan di berbagai kota di Indonesia (terutama di Jawa), pola kaderisasi dan kegiatan keagamaan di sekolah umum (khususnya SLTA) cenderung bersifat indoktrinatif dan menggunakan metode Brain Washing .  Pendekatan dan metode yang sama sebenarnya banyak digunakan oleh kelompok-kelompok radikal, buka hanya  keagamaan, melainkan juga politik, ras, haluan atau ideologi politik, dan sebagainya. Polanya adalah menolak keberagaman dan memaksakan kepatuhan berlebihan. Seringkali disertai kebencian, paling tidak perasaan superior.

Kegiatan keagamaan di sekolah yang berbau konservatif-ideologis tersebut dikemas dalam berbagai materi untuk menciptakan musuh bayangan yang superior dan sedang mengepung umat islam sehingga timbul rasa kebencian kepada the other. Penolakan terhadap keberagaman ini didasari atas  rasa kebencian yang berlebihan terhadap pemikiran yang berbeda di luar kelompok. 

Tak jarang melakukan penolakan total untuk berpikir lebih dalam, stigma negatif terhadap kalangan lain diluar mereka. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa kelompok mereka lah yang paling benar dari kelompok lain. Sehingga the other  tidak perlu bercampur dengan merekan, bahkan kalau perlu dikucilkan agar nilai yang dianut tidak terkotori oleh kelompok lain.

Pandangan dunia yang kaku dan mutlak, dimana klaim kebenaran tunggal bagi kelompok sendiri lebih dikedepankan, penegasan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak toleran terhadap kepercayaan/pandangan lain menjadi masalah serius dalam konteks keindonesiaan dan kemanusiaan secara umum. Tentu ini jauh dari kata ideal dalam membangun dan mengembangkan Indonesia dalam bingkai ke-Bhinneka-an dan demokrasi yang sehat kedepannya.

Menjadi perhatian beberapa pihak dan patut diungkap adalah tersingkirnya organisasi pelajar moderat, seperti; IPNU/IPPNU dan IPM dari lingkungan sekolah. Menurut beberapa pengamat,secara praktis pengaruh organisasi-organisasi pelajar lama ini kian surut bahkan di sekolah Muhammadiyah dan NU sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya loyalitas  pelajar terhadap organisasi induknya.

Keadaan ini disebabkan oleh sistem pengkaderan yang kurang matang, selain itu melemahnya kedekatan emosional dengan kalangan sendiri di lingkungan sekolah menengah umum. Realitas seperti ini tentu mempermudah kelompok keagamaan baru yang konservatif bahkan radikal untuk merekrut para pelajar yang sedang floating tersebut.

Ketika di tingkat perguruan tinggi selain IAIN, UIN, dan STAIN, pelajar berlatar belakang NU dan Muhammadiyah tidak secara otomatis masuk ke kelompok atau organisasi moderat yang memiliki basis kultural atau kedekatan dengan kedua ormas tersebut, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) atau Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Dengan melemahnya “Militansi dan kedekatan emosional” mereka terhadap induk organisasi mereka, sebagian diantara anak muda NU atau Muhammadiyah tersebut relatif mudah direkrut oleh kelompok-kelompok kanan yang memang sangat piawai dalam menebar pesona.

 

Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama