Kuliah atau Organisasi Penting Mana?

Kuliah atau Organisasi Penting Mana?

Organisasi dan Kehidupan Kuliah Memang Sering Bertabrakan, Sehingga Membingungkan Mahasiswa Dalam Mengambil Keputusan

Laci Gagasan, Mahasiswa - Identitas sebagai mahasiswa memang penuh dengan problematika dan dinamika. Membahas persoalan mahasiswa atau ke-mahasiswaan-an, tidak bisa dilihat dari sudut pandang yang sederhana. Intinya mahasiswa ini kompleks, dinamis, rumit, dan njelimet. Tapi apakah itu menjadi hambatan? Yah itu tergantung penyikapan masing-masing, karena mahasiswa sangat bervariatif karakternya. Maka dari itu, saya akan membahas secuil dimensi tentang mahasiswa.
 
Tiga tahun yang lalu tepatnya bulan Agustus 2014, predikat sebagai mahasiswa melekat erat dalam diri saya. Yang saya tahu adalah saya ini seorang mahasiswa dengan cita-cita dan harapan besar meraih kesuksesan di kemudian hari. Hanya saja saya tidak punya langkah atau tujuan strategis untuk meraih cita-cita itu. Singkat kata, semuanya berubah dalam sekedip mata.
 
Di tahun yang sama (2014), saya mengikuti sebuah organisasi ekstra kampus (sebut saja PMII). Kalau ditanya kenapa saya masuk PMII, sampai sekarang pun saya tidak menemukan jawaban yang pas, bahkan meyakinkan diri saya sendiri pun, Tidak!!! Bagi saya ber-PMII bukan soal kenapa, tapi APA dan BAGAIMANA???.
 
Seiring berjalannya waktu kalau dihitung, 20 jam ber-PMII dan 4 jam kuliah. Artinya waktu 24 jam saya habiskan lebih banyak bersama PMII (ngopi, diskusi, belajar, main, berkegiatan,dll) sisanya di kampus Cuma masuk kelas duduk paling belakang, diam, sering pula tidur. Dengan pola semacam ini, itu sangat Nampak dampaknya terhadap ke-diri-an saya. Dalam alam bawah sadar saya, kuliah bukan lagi sesuatu yang asyik, edukatif, atau mendidik. Disini letak ketidakadilan saya terhadap per-kuliah-an, meremehkan sesuatu yang sebenarnya saya tidak paham tapi merasa paham, dan men-justice seenaknya saja.
 
Saat ini saya sudah semester 8 dan masih aktif kuliah di kelas dengan 22 sks. Di saat yang sama, teman angkatan sudah skipsi, munaqosah, dan persiapan wisuda bulan Mei dan Agustus 2018, serta sibuk menata masa depan masing-masing. Apakah dengan ini saya menyesal? TIDAK!!! Justru sebaliknya, saya sangat bangga dan optimis menata langkah kedepannya. Karena saya sudah menemukan jawaban atas pertanyaan, “kuliah atau organisasi; penting mana?” saya akan mengulas pertanyaan ini, berdasarkan fakta-fakta di lapangan.
 

Karakteristik Mahasiswa

Secara umum saya membagi mahasiswa dalam dua kelompok utama. Pertama, mahasiswa dengan prestasi akademik (IPK 3,5>) atau disebut mahasiswa akdemisi. Kedua, mahasiswa dengan prestasi konsolidasi di luar kampus, atau disebut aktivis/organisatoris. Kedua karakteristik mahasiswa ini, saya tidak termasuk di dalamnya. Masih jauh untuk dapat masuk ke dalam salah satunya, apalagi keduanya. 

Dalam pandangan saya, mahasiswa akdemisi ini paling rajin masuk kuliah, lulus cepat, lanjut S2 atau langsung nikah (bagi mahasiswi). Tipikal mahasiswa ini tertata, tertib, rajin, dan disukai dosen-dosen. Mereka ini hampir tidak pernah menolak atau mengkritisi kehidupan di kampus. Tapi mereka paham akan teori-teori perkuliahan yang ada di dalam kelas, yang itu menjadi senjata ,mereka.

Mahasiswa seperti ini baik, pintar dan jarang melawan. Dalam proses kuliah kalau dicatat, karakter seperti ini pastinya cerdas. Tapi kenyataan tidak seperti apa yang tertulis dalam buku perkuliahan. Banyak lulusan dengan predikat cumlaude, itu tidak memiliki kemampuan menghadapi realitas kehidupan di luar kampus. Kalau pun ada, itu hanya segelintir, atau 0,0001% (hitungan ngawur saya). Kebanyakan mahasiswa yang normative seperti ini, tidak memiliki pengalaman organisasi yang kuat, sehingga kecakapan berjejaring tidak dimilki.

Memang mereka memilki kemampuan akademik yang cukup, tapi bingung cara menerapkannya di kehidupan nyata. Akhirnya yang muncul adalah PENYESALAN, ketika kuliah mengabaikan organisasi yang itu sebenarnya mengajarkan ilmu survive atau cara bertahan hidup dan kesiapan mengahdapi realitas kehidupan.
 
Berikutnya adalah mahasiswa dengan predikat aktivis/organisatoris. Mayoritas mereka ini, meninggalkan kampus, antipasti terhadap dinamika pengetahuan yang ada di kampus. Sederhanya karakter mahasiswa semacam ini adalah kebalikan dari mahasiswa akademisi. Cenderung tidak tertib, tidak suka dengan hal-hal yang prosedural. Tapi kecakapan konsolidasi, survive, dan bekal menghadapi kehidupan sudah dimiliki, meskipun masih sedikit.

Artinya mereka sudah terbiasa dengan kehidupan bermasyarakat secara langsung. Tapi satu yang menjadi kendala utamanya. Itu adalah kecakapan procedural, administrasi, dan IPK yang itu harusnya didapatkan di ruang-ruang kelas di kampus. Intinya mahasiswa semacam ini hampir tidak memilki ilmu yang disediakan oleh kampus.
 
Kesimpulan saya adalah, kedua karakteristik di atas sama-sama tidak mampu menjawab persoalan zaman, apalagi mengemban misi sebagai generasi penerus bangsa. Karena keduanya cenderung mengabaikan dimensi pendidikan yang ada di kampus, maupun yag ada di luar kampus. Hanya mahasiswa cerdas yang mampu dan pantas menjawab, bahwa kuliah dan organisasi sama-sama penting. 

Kenapa demikian, sejatinya pengetahuan yang ada di kampus dan di organisasi mampu di elaborasi, sehingga paham cara menggunakannya pada tempat yang sesuai. Ibarat makanan, pengetahuan di kampus dan di organisasi adalah bahan mentah. Yang namanya bahan mentah, perlu diolah agar dapat dikonsumsi. Mahasiswa ideal yaitu; mahasiswa yang sudah mampu mengambil pengetahuan di dua tempat tersebut, lalu mengolahnya agar bermanfaat (minimal bagi dirinya sendiri) dan masyarakat tentunya.
 
Mahasiswa bodoh semacam saya ini, tidak pantas mengatakan, bahwa kuliah dan organisasi sama-sama penting. Bagi saya, kuliah lebih penting daripada organisasi (PMII), karena saya tidak bisa ber-PMII kalau tidak kuliah. Kuliah (selain UIN) pun, belum tentu saya masuk PMII. Intinya saya tidak bisa ber-PMII kalau saya tidak kuliah, apalagi kalau bukan di UIN. Jadi kuliah yang utama, karena itu tanggung-jawab saya ke orang tua.Tapi Saya juga tidak mau ketinggalan dalam hal ke organisasian.

Bagi mahasiswa bodoh (seperti saya) utamakan dulu kuliah, baru organisasi. Artinya ilmu kuliah itu harus di dapat, bahan mentahnya harus di genggam. Begitu pun ilmu organisasi, bahan mentahnya juga harus demikian. Agar kedua bahan mentah yang diraih ini dapat dielaborasi dan menjadi bahan siap saji kapan saja.

Kalau ditanya bagaimana meraih bahan mentah di kampus dan di organisasi, jujur saja saya tidak punya jawaban. Saya sendiri pun masih ber-eksperimen menemukan cara yang jitu. Intinya cara adalah hal yang dinamis dan berbeda dalam setiap individu. Yang terpenting adalah tujuannya (mendapatkan bahan mentah di kampus dan di organisasi).
 
Maksud dalam tulisan ini sebenarnya, ajakan untuk sahabat-sahabat (khususnya saya) di organisasi. Agar tidak lagi menganggap, bahwa kuliah adalah pembodohan terstruktur, sehinggap sering meninggalkan kelas. Kita ini sebenarnya tidak adil terhadap ruang pengetahuan (kelas), karena sering meninggalkannya dan juga menjustice, bahwa kelas itu tidak mendidik. 

Bagi saya, ini adalah laku hidup yang keliru dan terus tertanam dalam alam bawah sadar sahabat-sahabat yang lain. Sudahlah!!! Mari kita hadir di ruang-ruang kelas, ambil bahan mentah pengetahuannya, begitu pun di organisasi. Ketika bahan mentah (pengetahuan) yang diperoleh dari dua sumber pengetahuan utama ini, maka yakin dan percaya, tidak akan ada keraguan dalam melangkah dan menantang kehidupan.


Dimutakhirkan: 8 Oktober 2022

Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

1 Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama