Dalam menyikapi berbagai persoalan sosial-keagamaan, Gus Mus mampu berpikir jernih, di luar kelaziman untuk mengurai benang merah persoalan dunia politik yang bercampur dengan kepentingan pribadi yang sering mengatasnamakan agama dan bahkan Tuhan. Tidak seperti elite agamawan lainnya yang suka mengecam prilaku buruk seseorang, justru sebaliknya Gus Mus selalu mengingatkan agar jangan terpaku pada daging saja atau kulit luarnya saja. Dimensi subtantif dan spirit dari agama perlu terus menerus dikaji dan dihadapkan pada realitas dunia dan sekaligus sebagai penyeimbang terhadap dorongan nafsu duniawi.
Gus Mus yang dikenal sebagai sosok yang menyejukkan di tengah panasnya konflik horizontal di masyarakat, merupakan sosok yang besar di lingklungan Pesantren di pesisir utara pulau Jawa, tepatnya Rembang Jawa Tengah. Budaya Pesantren desa yang sederhana, suka toleransi, meghargai sesama, dan terbiasa dengan telaah berbagai pendapat menjadi cikal bakal dari karakter Gus Mus yang sederhana, peka, sensitive terhadap masalah-masalah orang kecil, masyarakat akar rumput.
Di lingkungan Pesantren yang terbuka dan penghargaan pada perbedaan pemikiran dan pendapat sangat tinggi. Gus Mus dibesarkan dengan akar tradisi yang sangat kuat oleh keluarga. Tradsi menulis telah diwariskan dari sang ayah KH. Bisri Mustofa yang terkenal sebagai pengarang kitab berbahasa Jawa Al-Ibriz. Tafsir ini sangat populer dan menjadi rujukan utama di Pesantren-pesantren yang masih menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar akademik dalam waktu yag cukup lama. Dari tingkat lokal, Gus Mus menimba ilmu sampai tingkat global di Mesir.
Kiai yang Berjiwa Seni
Gus Mus peka terhadap penderitaan bangsa. Puisi-puisi beliau secara getir meski denga nada humoris dan menyindir, meprotes elite yang baku hantam dan melupakan nasib rakyat. Puisi-puisi Gus Mus pada tahun 1980-an, meski bernada protes,berkesan jenaka dan tidak menyeringai. Diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi untuk menciptakan puisi protes tidak dengan kemarahan dan tangan mengepal, tapi bermuatan gugahan yang menyejukkan.Jamal D. Rahman menulis: “Mustofa Bisri adalah sosok manusia dengan kedalaman visi seorang ulama dan ketajaman intuisi seorang penyair.” Gus Mus juga sangat memperhatikan aspek sosial dalam beribadah. “islam adalah ibadah sosial.” Kenapa tidak bicara tetang keadilan, hak asasi manusia, kemanusiaan, kejujuran, dalam pergaulan hidup? Bagaimana menyantuni orang dhaif dan seterusnya?” tanya Gus Mus menyindir kecenderungan simplikasi makna Islam dan tugas keislaman. Dakwah harus lebih ke perbuatan, bil hal, tidak hanya dengan berkoar-koar:
Tampil menegakkan keadilan, memberantas korupsi, membela orang lemah - Gus Mus.
Gus Mus mencoba menerjemahkan arti sebenarnya “Islam yang menyejukkan,” menenteramkan. Teriakan Allahu Akbar dengan mulut dan mata serta raut muka kebencian terhadap sesama bukan perbuatan terpuji karena Allah maha Sayang dan Kasih pada segala jenis mahluk-Nya. Gus Mus yang menenteramkan dan mendamaikan menjadi dambaan setiap orang.
Wiciksono Adi menulis: “ Gus Mus adalah salah satu pemimpin organis yang denga tepat memainkan peran alamiahnya tanpa terganggu godaan permainan di luar habitus aslinya. Sebuah pohon yang tumbuh pada habitat aslinya pasti dapat tumbuh subur dengan akar yang dalam hingga kelak meghasilkan berbagai “buah moral” yang siap dipetik oleh masyarakat peghuni lading tersebut.”
Dimutakhirkan: 20 September 2022