Setahu saya, agama selalu dijadikan kendaraan politik yang praktis dan sangat mudah dalam melegitimasi tindakan orang atau kelompok tertentu. Pada dasaranya kelompok agama ini memiliki paham yang diimpor dari belahan dunia di timur tengah. Menginginkan sistem kenegaraan yang Teokrasi , artinya ada pemimpin sah dan satu yang katanya pilihan Tuhan. Pandangan agama dan kenegaraan semacam inilah yang coba diterapkan di Indonesia. Sebagai generasi yang sadar sejarah, saya menganggap hal semacam itu adalah tindakan yang lucu.
Negara dibangun atas dasar kesamaan rasa tertindas oleh penjajah, bukan ats dasar satu suku, ras, agama, dan golongan. Mari kita belajar pada sejarah, dimana pada saat Belanda menjajah nusantara selama kurang lebih 350 tahun. Tidak mungkin mengusir Belanda dengan hanya perjuangan kelo,pok tertentu saja. Pernah ada, perjuangan pemberontakan di beberapa daerah selalu kalah oleh Belanda. Maka dari itu, para pemuda yang disebut Jong dari berbagai daerah menyatukan diri dalam satu perjuangan yang sama yaitu mengusir Belanda. Perlu dicatat bahwa, para Jong ini tidak dari satu kelompok agama atau etnis loh, tapi dari berbagai golongan ras, suku, agama, dan golongan.
Cerita dari Jogja
Kondisi masyarakat di Jogja yang sangat heterogen tentu menyimpan banyak cerita tersendiri. Kota Jogja berslogan “Jogja Berhati Nyaman” yang artinya kehidupan di Jogja tenteram dan damai. Jarang sekali terjadi gesekan antara sesama masyarakat Jogja, meskipun kondisinya terdiri dari banyak golongan masyarakat. Saya akan menceritakan sedikit tentang kehidupan di sebuah wilayah di Jogja yang juga tempat tinggal saya.Dalam wilayah yang tidak begitu luas, hanya sebuah perkampungan kecil saja, masyarakatnya sangat ramah dan santun satu sama lain. Padahal masyarakat disitu sangat kompleks, terdiri dari masyarakat biasa, PKL, keluarga Kepolisian, mahasiswa, bahkan etnis Tionghoa. Perbedaan agama bukanlah masalah bagi masyarakat sekitar, yang Kristen bisa menjalankan ibadah dengan leluasa, begitu pun yang Islam bisa sholawatan,yasinan, dan tidak ada keluhan bahwa ada yang terganggu.
Ini contoh kecil kehidupan yang plural dan saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentu hal semacam ini diharapkan bisa menjadi contoh buat masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan kehidupan yang seperti ini, perpecahan,konflik, bisa diminimalisir. Sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dalam bingkai pluralistic bisa terwujud. Mari kita bersama-sama menjaga perbedaan, karena itu adalah keniscayaan Tuhan. Perpecahan dan konflik hanya kan bermuara pada kehancuran bangsa dan Negara, sebaliknya justru kedamaian akan membawa pada kemajuan Negara dan bangsa Indonesia.
Kondisi di Indonesia berbeda dengan Eropa dan Barat. Kalau mereka itu ada karena menjatuhkan yang lain, sedangkan di Indonesia, setiap suku, ras, agama, dan golongan itu ada karena mengakui keberadaan yang lainnya. Artinya eksistensi budaya Indonesia adalah mengakui budaya yang lainnya, misal; budaya Jawa ada karena mengakui budaya Papua, begitu pun sebaliknya. Di sini ditekankan saling mengakui satu sama lain dan tidak mencerca atau menjatuhkan yang lain.
Kondisi di Indonesia berbeda dengan Eropa dan Barat. Kalau mereka itu ada karena menjatuhkan yang lain, sedangkan di Indonesia, setiap suku, ras, agama, dan golongan itu ada karena mengakui keberadaan yang lainnya. Artinya eksistensi budaya Indonesia adalah mengakui budaya yang lainnya, misal; budaya Jawa ada karena mengakui budaya Papua, begitu pun sebaliknya. Di sini ditekankan saling mengakui satu sama lain dan tidak mencerca atau menjatuhkan yang lain.
Dimutakhirkan: 20 September 2022