Moratorium Hotel dan Masa Depan Lahan di Kota Jogja

Moratorium Hotel dan Masa Depan Lahan di Kota Jogja

Pembangunan hotel di Kota Jogja terus meningkat dan menimbulkan beberapa persoalan lingkungan, seperti alih fungsi lahan yang tak terkendali. Usulan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) terkait perpanjangan izin pembangunan hotel di kota Jogja perlu dipertimbangkan oleh pemerintah kota Jogja. Apa yang diusulkan oleh PHRI ini sangat masuk akal, sebab didasari atas pertimbangan  seperti;  tingkat hunian hotel di jogja masih di bawah rata-rata dan dikhawatirkan persaingan bisnis yang kian  tidak sehat.

Penyebab utama diberlakukannya moratorium hotel di kota Jogja adalah kondisi bisnis perhotelan yang “tidak sehat” dan merugikan banyak pihak, khususnya pelanggan.  Pihak hotel di Jogja terkesan nakal terhadap pelanggan, dengan memberikan pelayanan dan fasilitas yang tidak sesuai  dengan peringkat yang ada.

Jika perilaku nakal para pihak perhotelan ini tidak segera ditindaklanjuti, maka akan memberi kesan buruk terhadap kota Jogja. Mengingat semakin meningkatnya wisatawan yang berkunjung ke Jogja, yang itu membutuhkan fasilitas dan pelayanan hotel yang maksimal.

Sebagai kota destinasi wisata, kota Jogja harus memberikan pelayan dan fasilitas yang dapat memberikan kepuasan terhadap wisatawan, dalam hal ini perilaku perhotelan. Ini merupakan masalah yang harus segera dibenahi, sebab pelanggan maupun wisatawan yang merasa kecewa dengan sikap perhotelan, akan berdampak buruk bagi masa depan industri pariwisata dan bisinis perhotelan di kota Jogja.

Moratorium hotel di jogja itu sangat penting, mengingat persoalan di atas yang sangat mendesak.  Alasan perlunya moratorium ini disebabkan oleh rendahnya okupansi hotel yang masih berkisar 40-50 persen.  Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono IX , “jika okupansinya telah mencapai setidaknya 70 persen, baru dibuka kembali ruang untuk investasi hotel di DIY.” usai memberi pidato sambutan di Paripurna DPRD DIY, senin (16/10). REPUBLIKA.CO.ID

Dengan dikeluarkannya moratorium hotel di kota Jogja,  akan sangat berdampak pada penyelamatan krisis lahan yang sedang melanda kota Jogja. Diharapkan dengan dikeluarkannya aturan (moratorium) ini, tidak hanya didasarkan pada pertimbangan PHRI terkait bisnis perhotelan yang tidak sehat, tetapi lebih kepada masa depan lingkungan.

Alih fungsi lahan yang kian meningkat dan menimbulkan kerusakan lingkungan, berbanding lurus dengan semakin maraknya pembangunan perumahan, indusatri, dan hotel yang tak terkendali. Ini bukan lagi masalah kecil, tapi sebuah bencana kehidupan. Alih fungsi lahan pertanian di DIY mencapai 200-250 hektare per tahun.

Aturan terkait pengendalian alih fungsi lahan sudah diatur dalam Perda nomor  10/2011 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan maupun Rencana Tata Ruang Wilayah. Aturan ini sebenarnya perlu untuk diaplikasikan secara serius oleh seluruh pemangku kebijakan. Pemerintah dari tingkatan pusat hingga daerah harus lebih serius lagi dalam menerapkan aturan ini.

Selain persolan aturan yang belum maksimal dalam pengaplikasiannya, masalah utama juga ada pada petani yang menjual lahan pertanian kepada pengemban maupun industri. Harus ada kesadaran dari seluruh elemen masyarakat, agar krisis lahan dapat segera diatasi dan tidak menimbulkan bencana dalam kehidupan di masa depan. Terakhir dan paling penting adalah, masyarakat perlu mengapresiasi dan mendukung kebijakan dari pemerintah kota Jogja yang mengeluarkan moratorium hotel.


Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama