Keterbelakangan Papua, Isu Ham, dan Hasrat untuk Merdeka

Keterbelakangan Papua, Isu Ham, dan Hasrat untuk Merdeka

Kondisi Nyata Kehidupan Masyarakat Pedalaman Papua

Laci Gagasan, Politik - Papua merupakan suku bangsa yang terletak di sebelah Timur wilayah Indonesia juga merupakan wilayah yang terakhir bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Papua masih dikuasai oleh Kolonial Belanda dan sekutu. Untuk mengembalikan papua ke pangkuan ibu pertiwi, perjuangan para Founding Father dipusatkan khusus untuk Papua. Mulai dari peperangan hingga diplomasi yang alot, hingga terbentuknya pada 24 Desember 1949 melalui proses Konferensi Meja Bundar. Sejak itulah Papua Barat resmi bergabung dengan NKRI.

Wilayah papua yang sangat luas atau setara dengan Tiga kali pulau jawa, memiliki sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah, tetapi sumber daya manusia (SDM) sangat rendah. Sehingga tidak heran jika bangsa Eropa sangat ingin menguasai wilayah Papua. Pulau yang sangat luas ini dihuni oleh berbagai masyarakat suku dan adat Papua yang jumlahnya sangat sedikit sekali.

Tidak heran jika banyak pendatang yang berbondong-bondong datang ke Papua. Jaraknya yang sangat jauh dari Ibu Kota menyebabkan Papua terbelakang dari berbagai aspek kehidupan. Pembangunan di Papua juga masih terbelakang, sehingga Papua menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang tertinggal meskipun memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah melebihi daerah lainnya.

Seluruh dimensi kehidupan seperti; politik,ekonomi,sosial-budaya, pendidikan dll, jauh tertinggal jika dilihat dari beberapa aspek tersebut, sehingga akan tampak jauh tertinggal jika kita melihat kehidupan masyarakat di Papua. Seluruh aspek kehidupan di atas masih dikuasai oleh para pendatang, sehingga membuat masyarakat asli Papua semakin termarginalkan. Masyarakat Papua tidak mampu bersaing dengan para pendatang di tanahnya sendiri, bisa dikatakan orang Papua terasing di tanah sendiri.

Kondisi Ekonomi

Berdasarkan pengalaman pribadi penulis selama dua bulan tinggal di Papua (Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai) melihat kondisi di sana sangat miris, pusat perekonomian seperti; pasar, perkotaan, hanya dikuasai oleh para pendatang, sedangkan orang Papua hanya menjadi konsumen utama. Misalnya di kota Nabire, pusat kota hanya ramai oleh para pendatang yang menetap dan menguasai pusat perekonomian di sana. Pasar-pasar rakyat juga hanya diisi oleh para pendatang, meski pun ada masyarakat Papua yang berjualan di pasar, mereka hanya menjual pinang dan sayur-mayur yang itu konsumennya orang Papua sendiri.

Mirisnya lagi orang Papua tidak memiliki lapak berjualan di pasar atau kios seperti para pendatang, jika mereka berjualan di pasar, hanya di emperan pasar dan pinggir jalan depan pasar yang mereka gunakan untuk berjualan. Bahkan dalam kegiatan perekonomian orang Papua masih terpinggirkan dibandingkan dengan para pendatang. Tidak jarang para pendatang enggan untuk membeli apa yang dijual oleh orang Papua, sehingga dagangan orang Papua hanya untuk sesama mereka sendiri. Sederhanya begini, segala bentuk pekerjaan yang bisa menghasilkan uang itu hanya mampu dikerjakan dan dikuasai oleh pendatang, sedangkan orang Papua hanya bisa gigit jari saja.

Tidak ada tempat bagi orang Papua dalam roda perekonomian di tanahnya sendiri, selain sebagai konsumen utama. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang Papua tidak mampu bersaing dengan pendatang, kualitas SDM yang jauh tertinggal serta kesempatan bersaing yang tidak didapatkan. Keterpurukan ini terkesan disengaja atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali oleh pihak-pihak terkait.

Selain dari terasingnya orang Papua dalam roda perekonomian, masih banyak lagi persoalan ekonomi di Papua. Harga sembako masih relative mahal dan terbatas, karena proses distribusi barang yang kurang lancar. Masalah infrastruktur menjadi salah satu faktor utama harga kebutuhan pokok sangat tinggi. Kondisi jalan yang sering longsor di beberapa titik, medan yang berat, dan jauhnya jarak tempuh membuat cost distribusi ini mengalami pembengkakan. Faktor ketersediaan BBM juga sangat terbatas. Penjualan solar di beberapa SPBU di Nabire, Moanemani, dan Enaro, jumlahnya dibatasi per kendaraan atau truk.

Biasanya setiap truk hanya dapat jatah 100 liter setiap pengisian, padahal jarak tempuh Nabire-Enaro tiga ratus kilo meter. Setiap seratus kilo meter, baru terdapat SPBU pengisian BBM. Selain terbatas disinyalir ada praktek gelap yang dilakukan oleh petugas SPBU di sana dalam menggelapkan solar. Hal ini bisa dilihat banyak solar yang dijual per jeregen lima liter atau Galon empat puluh liter yang dijual oleh pengecer di sekitar SPBU. Harganya tentu jauh berlipat-lipat dari harga normal di SPBU, sebesar enam ribu rupiah.

Sosial-Budaya

Ada perbedaan yang sangat mencolok dalam budaya orang Papua sebagai bangsa Melanesia dengan bangsa lainnya di Indonesia. Perkembangan sosial-budaya di Papua masih tertinggal beberapa abad ketimbang bangsa lainnya. Karena secara geografis, masyarakat Papua ini mendiami pegunungan tengah Papua bukan di pesisir, sehingga interaksi dengan budaya luar sangat terbatas.

Persinggungan budaya sangat jarang terjadi dan ini menjadi indikator bahwa masyarakat Papua sangat tertutup. Jangankan dengan budaya di luar Papua, sesama suku Papua sendiri masih sering terjadi perbedaan yang berujung konflik tanpa henti. Jumlah masyarakat Papua yang terbilang sedikit, tetapi memiliki suku yang sangat banyak, melebihi suku bangsa lainnya di Indonesia. Metode penyelesaian konflik suku pun masih terbilang barbar, karena darah harus dibayar dengan darah. Jika dibandingkan dengan suku lainnya, pola kebudayaan seperti ini terjadi ribuan tahun lalu.

Penyelesaian konflik suku pun terkadang menemui jalan buntu, meskipun sama-sama bangsa Melanesia dan bermukin di satu tempat yang sama. Bisa dibayangkan, jika ada gesekan atau konflik antara orang Papua dan pendatang, tidak jarang nyawa melayang karena tidak ditemukan kesepakatan damai kedua belah pihak. Aparat TNI/Polri juga tidak mampu menjadi penengah ketika terjadi masalah antar suku di Papua.

Satu hal yang paling khas melekat dalam diri orang Papua, yaitu memiliki kecenderungan terhadap minuman beralkohol hingga mabuk. Kebiasaan mabuk ini lah yang merusak mental mereka, tiada hari tanpa mabuk-mabukan. Parahnya lagi jika mereka sudah mabuk, pasti menimbulkan kekacauan ditengah-tengah masyarakat.

Ini lah yang membuat para pendatang antipati dengan orang Papua, karena ketika sudah mabuk pasti mengganggu orang lain dan terkadang memalak warung, kios, dll. Karakter yang masih Bengal ini belum mampu dirubah, bahkan aparat Kepolisian belum mampu menertibkan mereka yang suka mabuk dan menimbulkan kekacauan ditengah masyarakat. Perilaku seperti ini yang merusak mental dan karakter sebagian besar orang Papua, belum mampu membenahi diri dan keluarga apalagi masyarakat.

Uang mereka hanya digunakan untuk beli miras, bukan untuk memperbaiki taraf hidup mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Berapa pun uang yang mereka dapatkan setelah bekerja, pasti selalu dihabiskan untuk pesta miras, dan itu terjadi di tempat umum. Maka tidak heran jika mereka kurang mampu bergaul dengan pendatang yang lebih beradab, sehingga mereka terasing dalam kehidupan berbangsa karena ulah mereka sendiri.

Pemikiran yang masih sempit dan tertutup dengan budaya lain menjadi penghambat kemajuan dan peradaban orang Papua. Masih menganggap diri mereka yang terbaik dan paling benar karena berada di tanah mereka sendiri serta bertingkah semaunya sendiri tanpa pernah memikirkan orang lain.

Orang Papua termarginalkan secara sosial-budaya bukan karena disengaja, tetapi tingkah mereka sendiri yang tidak disadari. Bukan maksud merendahkan apalagi menyalahkan karakter dan produk kebudayaan orang Papua, tetapi kenyataan di lapangan seperti itu. Bagi orang Papua, hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain belum mampu dipahami apalagi diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari. Harus diakui bahwa ada ketertinggalan peradaban yang sangat jauh antara masyarakat suku Papua dan suku bangsa lainnya.

Mayoritas masyarakat Papua tinggal di pegunungan dan menggantungkan hidup pada hasil pertanian seperti ubi dan sayur mayur. ditambah metode pertanian mereka masih sangat tradisional. Yang melakukan aktifitas bertani dan beternak adalah para perempuan, sedangkan lelakinya hanya mencari kayu bakar dan itu pun masih dibantu dengan perempuannya atau ibu rumah tangga. Alat bertani yang digunakan juga sangat sederhana yaitu sekop.

Masalah utamanya adalah ketertinggalan peradaban yang sangat jauh jaraknya dengan kemajuan zaman yang sudah sangat modern seperti saat ini, maka dari itu perlu adanya percepatan peradaban untuk mengejar ketertinggalan ini. Tidak bisa hanya dilakukan orang Papua sendiri, perlu bergandengan tangan bersama suku bangsa lainnya di Indonesia untuk saling membantu memajukan peradaban dan kualitas SDM orang Papua.

Masalah Keamanan dan Ketertiban

Sudah menjadi rahasia umum kalau di Papua, khususunya di pegunungan tengah Papua, keamanan masih menjadi barang mahal di sana. Kondisi masyarakat yang masih jauh dari peradaban perkotaan menjadi ancaman kehidupan dan keselamatan para pendatang. Selama hidup dan tinggal di Papua, penulis tidak pernah menemukan pemukiman penduduk yang didalamnya ada pendatang yang hidup bersama. Para pendatang membuat pemukimannya sendiri dan masyarakat Papua juga tidak bisa berbaur dan hidup bersama dengan para pendatang yang mayoritas bermukim di pusat perkotaan dan perekonomian.

Orang Papua sendiri hampir tidak ada yang bermukim di pusat perkotaan/pemerintahan dan perekonomian, kalau pun ada itu hanya pejabat, ASN, dan tuan tanah. Orang Papua umumnya menetap di pegunungan dan hutan. Masyarakat pendatang yang bermukim di pusat pemerintahan dan perkotaan tidak memiliki tanah, hanya sewa kepada tuan tanah saja. Tetapi masih saja orang Papua merasa tanah mereka dirampas oleh pendatang.

Waghete Deiyai adalah salah satu kota di pegunungan tengah yang sangat rawan. Masyarakatnya terkenal dengan kebiasaan “Palang” khususnya di kampong Uga Puga atau di distrik Kamu dan Tigi. Kampung ini dilalui oleh jalur trans Papua (Nabire-Enaro) jaraknya kurang lebih 290 km). Mulai dari anak kecil hingga dewasa, sering menahan mobil yang lewat di daerah mereka dan meminta uang secara paksa yang jumlahnya tidak sedikit.

Jika tidak diberi uang maka sasarannya adalah supir atau mobil tersebut dikampak atau dilempari batu hingga rusak, bahkan supir bisa dibunuh jika tidak memberi uang yang cukup. Tidak peduli pendatang, bahkan sesama orang Papua juga di palang ketika melewati daerah tersebut. Aparat kepolisian tidak mampu mengatasi masalah ini, bahkan aparat saja dipalang jika melewati wilayah yang disebut “Texas” tersebut.

Yang dijuluki sebagai Dewa Palang adalah “Si Pincang” penduduk asli uga puga yang kakinya pincang dan menggunakan tongkat. Tak ada yang berani menentang dia, jika Si Pincang sudah berdiri di tengah jalan, semua mobil yang lewat harus menyetor uang paling sedikit 100 ribu.

Ada beberapa yang meminta sumbangan tetapi tetap saja dengan unsur pemaksaan. Hampir setiap hari dengan bermodalkan kardus, mereka menahan setiap mobil yang lewat dan meminta sumbangan dengan alasan yang berbeda-beda. Beberapa dalih yang sering digunakan missal; kepala suku meninggal, pembangunan rumah ibadah, upacara adat, dll. Padahal nyatanya tidak seperti itu, uang yang terkumpul digunakan untuk beli miras lagi, dan begitu seterusnya.

Tidak hanya itu, pos polisi juga pernah dibakar oleh orang Papua ketika terjadi kerusuhan di Waghete. Para pendatang ada yang diperkosa dalam kondisi hamil, juga kios di pasar milik pendatang dijarah. Aktivitas perekonomian sempat macet selama dua minggu sebelum mampu diatasi oleh aparat TNI/Polri. Karena letaknya berada di pegunungan tengah dan akses kesini lumayan jauh dan susah, membuat kota ini sangat sering terjadi kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa, tanpa ada media yang mampu meliputnya.

Baru-baru ini terjadi lagi kerusuhan di Waghete yang disebabkan oleh kasus yang diduag persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Sebagai bentuk protes, masyarakat melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Bupati dengan membawa Panah, Kapak, Golok, dan senjata tajam lainnya, yang berujung pada jatuhnya korban jiwa yang sangat banyak, baik dari pihak keamanan maupun masyarakat sendiri. Saat kerusuhan, satu aparat TNI tewas dan beberapa dari aparat kepolisian yang terluka. Juga sebanyak sepuluh pucuk senjata milik TNI hilang saat kerusuhan terjadi.

TNI/Polri Selalu Jadi Korban dari KKB Papua

Tidak hanya itu, massa aksi menuduh pendatang, bahwasanya makanan yang mereka beli sengaja diberi racun sehingga banyak dari mereka yang meninggal saat aksi tersebut. Orang Papua sangat cerdik dalam memainkan “Playing Victim” saat sedang membuat kekacauan, agar mereka lepas dari jeratan hukum.

Selanjutnya persoalan keamanan dan ketertiban di Papua. Telah diketahui bahwa Papua merupakan daerah yang sangat rawan terjadi konflik horizontal. Sering sekali terjadi pergesekan antar warga hingga antar suku dengan bermacam alasan yang mungkin tidak seharusnya menjadi ajang pertumpahan darah. Ini menandakan bahwa masyarakat Papua belum memiliki alternatif Penyelesaian masalah social yang efektif. Bahkan aparat Negara seperti TNI dan kepolisian terlihat kualahan menjawab persoalan ketertiban di Papua.

Maksud Terselubung dari Isu HAM

Jika orang Papua yang mendapat teguran atau peringatan fisik oleh aparat, mereka menggunakan isu HAM untuk membela diri, tetapi jika mereka membunuh masyarakat pendatang, HAM tidak berguna. Sederhananya HAM itu milik orang Papua bukan miliki bersama. Akhirnya orang Papua bebas bertingkah semaunya dengan kekerasan tanpa takut kena hukum, karena orang Papua sangat dilindungi oleh HAM.
 
Isu HAM masih menjadi senjata ampuh yang digunakan oleh aktivis, lembaga, dalam maupun luar negeri untuk mengacaukan hubungan kebangsaan orang Papua dengan Indonesia. Target besar aktivis dan lembaga HAM sendiri pastinya bias ditebak, yaitu apalagi jika bukan menghasut agar Papua merdeka. Alasan-alasan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Indonesia menjadi dasar utama untuk memisahkan diri dari NKRI.
 
Semua yang berbicara atas nama HAM tentang Papua, pasti selalu mengarah pada hasutan agar Papua memisahkan diri dari NKRI. HAM inilah yang telah menunggangi bangsa Papua selama ini dan melakukan penghasutan yang massif,terstruktur, dan sistemik. Seandainya Papua mau sedikit saja belajar pada tragedy yang mengakibatkan berdirinya negara Timor Leste, tentu tidak pendek pikirannya dalam menyikapi persoalan dalam kehidupan bernegara yang sangat kompleks ini. Dapat dilihat bagaimana perkembangan Timor Leste saat ini dan apa yang sedang dialami negara ini, negara asing mencaplok wilayah kemaritiman dan merampas kekayaan alam disana.

Tentu Papua tidak ingin seperti itu, jangan sampai terbuai dengan rayuan Australia. Mereka ini adalah bangsa kulit putih yang dating ke benua Australia dan mengusir bahkan membuat punah suku asli disana yaitu suku “Aborigin”. Tidak akan pernah puas dan tinggal diam bangsa kulit putih melihat kemajuan, persatuan dan kesatuan negara bekas kolonialisme.

Segala macam cara digunakan agar mereka kembali seperti dahulu kala, berdiri sendiri dan tidak bersatu, agar mudah dihasut dan diadu-domba demi kepentingan mereka. Sejarah perlu dipelajari kembali agar tidak kebablasan. Politik adu-domba hari ini berwajah atau mengatasnamakan diri mereka sebagai aktivis dan lembaga HAM, yang melindungi hak-hak dasar manusia. Tetapi dibalik itu semua tujuannya hanya satu, mengahancurkan tatanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Kemudian pertanyaan yang harus dijawab adalah, cukup baikkah solusi kemerdekaan menjawab persoalan keterbelakangan Papua. Jangan sampai aktifis HAM Papua justru memiliki itikat untuk merampas HAM warga Papua sendiri. Untuk menjawab hal itu, bisa kita lihat bagaimana warga papua mengurus diri mereka sendiri, khusunya pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Indikator tersebut nantinya dapat digunakan untuk menyimpulkan bagaimana kesiapan warga Papua kedepannya akan mengurus Perekonomian Negara mereka sendiri.
 
Dalam sejarah dan perjalanan Negara bangsa Indonesai, Papua bukan satu-satunya suku bangsa atau daeran dalam naungan NKRI yang pernah berniat memisahkan diri dari Indonesia. Sejak awal kemerdekaan malah sudah banyak sekali yang ingin mendirikan Negara sendiri, baik itu atas dasar suku bangsa maupun atas dasar agama. Semuanya sadar bahwa tidak ada gunanya berpisah, karena hanya akan membuatnya semakin terbelakang dan terpuruk.

Suku bangsa di Indonesia memiliki semangat gotong-royong yang tidak dimiliki Negara atau bangsa manapun di dunia ini. Tidak akan mampu suatu suku bangsa untuk berdiri sendiri tanpa bantuan yang lainnya. Masalahnya hanya soal waktu, ada yang cepat dan ada yang lambat. Karena perbedaan produk kebudayaan dan kualitas SDM yang tidak sama, dan ini merupakan sebuah keniscayaan. Perbedaan itu harus diakui dan diterima, sesuai falsafah hidup bangsa ini “Bhinneka Tunggal Ika” untuk kita semua saling mengenal satu sama lain.

Point yang ingin kami sampaikan adalah, kemerdakaan tidak sesederhana HAM. Masih banyak perangkat yang harus dipersiapkan untuk menunjang berdirinya sebuah negara. Jika melihat catatan sejarah Negara Indonesia ini, gagasan untuk melepaskan diri dari NKRI sudah sering digulirkan dari beberapa seku bangsa, seperti Maluku, Riau, Sumatra, makasar dan yang lainnya. seiring berjalannya waktu, kesadaran akan pentingnya Persatuan dan Kesatuan bangsa mengilhami mereka. Ini yang seharusnya menjadi pertimbangan warga Papua. Jangan sampai isu HAM menjadi luapan emosi sementara yang mengakibatkan efek buruk untuk anak cucu mereka.

Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata yang dialami langsung oleh penulis selama berada di Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai dalam kurun waktu 3 Bulan di tahun 2019

Dimutakhirkan: 13 Oktober 2022 

Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama