Source: Kompas
Laci Gagasan, Dunia Mahasiswa - BereitaKORUPSI!!! Mendengar kata “korupsi” bukan lagi hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia. Hampir setiap hari kita disuguhkan oleh pemberitaan media massa terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Prilaku korupsi seolah menjadi “lifestyle” bagi para pejabat dan tidak lagi dianggap sebagai perilaku yang merugikan diri dan banyak orang. Para pejabat bangga dengan kasus korupsi yang menjeratnya, dan semakin bangga apabila jumlah uang yang dikorupsi sampai triliunan rupiah. Hal tersebut menunjukkan rating pejabat yang hebat jika angka korupsi semakin tinggi.
Prilaku
korupsi tidak pandang bulu, siapa pun dan kapan pun bisa melakukan korupsi
sesuai dengan situasi pekerjaan. Tidak hanya pejabat tapi penegak hukum
sekalipun bisa terjerat kasus korupsi. Tamparan keras bagi “Mahkamah
Konstitusi” ketika salah satu hakimnya berinisial PA ditangkap oleh KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 Januari 2017. Kasus ini hanya salah satu
dari sekian banyak kasus korupsi yang menjerat para pejabat dan penegak hukum
negari ini.
Menurut
saya yang menyebabkan para pejabat dan penegak hukum terjerat kasus korupsi
karena, sebagian besar dari mereka adalah kader dan simpatisan partai politik.
Dimana mereka telah mendapat pesanan dari partai politiknya untuk mengeluarkan
atau menetapkan kebijakan tertentu demi kepentingan golongan dan partai.
Selain
itu, godaan yang sangat kuat untuk menerima sejumlah uang menyebabkan banyak
koruptor tergiur karena, jumlah gajinya tidak sebesar dengan tanggung-jawab
yang diembannya. Hal ini harus menjadi perhatian bahwa, para pejabat dan
penegak hukum negara ini harus diberi tunjangan yang cukup dan sesuai dengan
tanggung-jawab yang diembannya agar tidak mudah tergiur dengan tawaran untuk
melakukan tindakan korupsi.
Diakui
atau tidak, budaya korup tidak hanya menyerang para pejabat dan penegak hukum
negara ini. Hampir semua dimensi kehidupan masyarakat terjangkit penyakit
korupsi, tak terkecuali lingkungan dan kehidupan mahasiswa. Ada banyak
bentuk-bentuk prilaku korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa, baik yang disadari
maupun tidak.
Di
lingkungan dan kehidupan akademik kampus, mahasiswa sering menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan seperti seminar, pelatihan, dan kegiatan serupa lainnya.
Kegiatan semacam ini sering diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan (LKM).
Lembaga ini adalah lembaga perwakilan mahasiswa yang posisinya semacam
lembaga “eksekutif” dan “legislative” negara. Di kampus
saya, UIN-Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebutnya Dewan Mahasiswa/ Fakultas
(DEMA/F) setara dengan lembaga eksekutif, sedangkan Senat Mahasiswa/Fakultas
(SEMA/F) setara dengan lembaga legislative negara.
Sayangnya
di UIN tidak ada lembaga Hukumnya atau “yudikatif” sehingga sistem pemerintahan
mahasiswa rawan akan prilaku korupsi. Ada lembaga yudikatif saja belum
tentu menjamin akan tidak adanya penyimpangan dalam mengelola kekuasaan dan
pemerintahan.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa, setiap kegiatan mahasiswa pastinya disertai dengan
proposal kegiatan yang ditujukan kepada pihak kampus untuk mencairkan dana
kegiatan. Menurut saya yang menjadi sumber persoalan yang membentuk budaya
korupsi di ligkungan mahasiswa adalah sebuah benda yang disebut “proposal”
dan sangat akrab dengan mahasiswa.
Proposal
inilah yang membentuk alam bawah sadar mahasiswa untuk melakukan penyelewengan
anggaran yang cair dari kampus. Hampir semua mahasiswa yang pernah bersentuhan
dan mengelola proposal, pasti paham dengan tujuan dari penulisan proposal yang
tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya.
Kegiatan
yang sebenarnya hanya butuh anggaran semisal lima juta rupiah, bisa saja dalam
penulisan di proposal menjadi tujuh sampai sepuluh juta. Mahasiswa melakukan
Ini bukan tanpa dasar, tapi cara seperti ini telah diwariskan dari generasi ke
generasi selanjutnya. Logika proposal selalu logika manipulative, yang mana
kebutuhan dan apa yang tertulis jauh berbeda.
Alasan
dari penulisan proposal yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya
karena, dari pihak yang dituju/dimintai dana, biasanya tidak memberikan atau
mencairkan dana sesuai dengan apa yang tertulis. Jadi ketika mahasiswa
mengadakan kegiatan dan membutuhkan dana sekitar lima juta dan ditulis dalam
proposal lalu diajukan ke pihak kampus, pasti yang cair tidak sesuai dengan apa
yang tertulis. Inilah yang mendasari mahasiswa dalam melakukan penulisan
proposal yang manipulative atau tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya.
Mahasiswa-birokrasi
kampus-negara merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan dan saling
mempengaruhi. Kegiatan mahasiswa yang membutuhkan dana, itu diajukan ke kampus
dan dicairkan. Yang mana dana tersebut telah termasuk dari anggaran belanja
kampus yang diajukan ke negara. Kira-kira gambaran umumnya seperti itu.
Disini
kita dapat menarik akar persoalan yang membentuk prilaku korupsi di mahasiswa.
Tidak hanya mahasiswa, birokrasi kampus juga terkadang melakukan hal yang sama.
Ketika mahasiswa tidak mengadakan sebuah kegiataan di kampus, maka dana yang
telah dianggarkan untuk kegiatan mahasiswa biasanya dialih fungsikan untuk
kegiatan lain. Birokrasi kampus tidak ingin anggaran dari negara dikurangi dan
cenderung meminta agar ditambah setiap tahunnya meskipun kegiatan di kampus
tidak ada perkembangan.
Pola
semacam ini kan tetunya tidaklah sehat dalam sistem birokrasi kaampus dan
negara. Harusnya anggaran yang tidak habis dalam belanja dan kegiatan kampus
dikembalikan ke negara agar disalurkan ke yang lain yang lebih membutuhkan.
Dalam kasus seperti ini juga ada persoalan di dalamnya, ketika kampus
mengembalikan anggaran yang tersisa kepada negara, maka selanjutnya negara akan
memangkas atau mengurangi anggaran kepada kampus tersebut.
Inilah
yang membuat kampus tidak ingin mengembalikan sisa anggaran kepada negara dan
lebih memilih untuk menghabiskan anggaran tersebut untuk kegiatan-kegiatan
seremonial yang belum tentu bermutu dan bermanfaat bagi mahasiswa.
Selain
itu,mahasiswa yang memangku jabatan tertentu juga terkadang melakukan tindakan
yang menyimpang. Memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri dan
golongan juga sering dijumpai dalam lingkungan politik mahasiswa di kampus.
Mereka yang menjadi perwakilan mahasiswa dan seharusnya mengutamakan
kepentingan mahasiswa, malah sering mengabaikan tugas dan tanggung-jawab
tersebut.
Awalnya
saya mengira bahwa hal yang semacam ini sudah biasa dan sudah semestinya
seperti itu. Tapi setelah beberapa kali bersentuhan dengan pembuatan proposal,
saya menyadari bahwa lambat laun ini akan berpengaruh negative kepada generasi
muda kedepan, khususnya mahasiswa. Proposal secara tidak langsung mengajarkan
kepada kita untuk tidak jujur dan melakukan tindakan yang manipulative terhadap
kampus dan negara.
Mental
yang seperti ini, ketika telah tertanam kuat dalam diri mahasiswa, akan
berpengaruh besar ketika kelak diberi tanggung-jawab dan jabatan
tertentu. Saya meyakini bahwa prilaku korup para pejabat dibentuk dan
dipengaruhi ketika masih menempuh jenjang pendidikan.
Dunia
pendidikan juga turut andil dalam membentuk karakter mahasiswa kelak yang
menyimpang. Misalnya suatu universitas yang semakin mahal biaya pendidikannya
menyaring lalu mengugurkan banyak calon mahasiswa, khususnya dari
golongan menengah ke bawah. Biaya pendidikan yang semakin mahal membentuk alam
bawah sadar mahasiswa bahwa, kelak ketika dia telah mendapatkan pekerjaan atau
jabatan tertentu, dia harus mengembalikan uangnya yang telah habis ketika
menempuh pendidikan.
Masih
banyak PR pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pendidikan yang belum
merata, serta merekonstruksi paradigma pendidikan kearah yang lebih kritis,
humanis, dan emansipatoris. Sejarah membuktikan bahwa, kemajuan sebuah bangsa
dan negara berbanding lurus dengan kemajuan institusi pendidikannya. Maka sudah
seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada dunia pendidikan untuk
memajukan bangsa dan negara ini.
UUD
1945 telah mengamanatkan hal tersebut dan juga disertai dengan cita-cita
pemerintah Indonesia saat inni untuk mewujudakan generasi millennium di tahun
2045. Tentunya kecakapan intektual dan mental anti korupsi di tubuh
mahasiswa akan sangat menentukan bagi kehidupan dan masa depan negara
kedepannya.
Untuk
memerangi budaya yang membentuk prilaku korup di lingkungan mahasiswa, semua
elemen harus terlibat dan pro-aktif. Institusi pendidikan harus mulai
merekonstruksi pola pengajaran dan kegiatan yang melibatkan mahasiswa.
Kegiatan-kegiatan di kampus yang tidak mendidik dan merupakan warisan lama
harus segera ditinggalkan dan dirubah agar mahasiswa tidak terjangkit penyakit
korupsi.
Kemudian
cita-cita pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan revolusi mental, harus didukung
penuh. Karena mental generasi bangsa semakin merosot dan tidak adanya daya
saing dengan bangsa lain. Maka dari itu lewat institusi pendidikan, mahasiswa
harus dibentuk mentalnya agar tidak mudah terpengaruh dengan prilaku korupsi
yang dapat menghancurkan diri dan negara dikemudian hari. Karena jika
pemuda/mahasiswa telah rusak mentalnya, maka yakin dan percaya negara juga akan
ikut kancur. Masa depan sebuah negara ditentukan oleh bagaiman mental
generasinya sejak dini.
Kita
akui bersama bahwa prilaku korup di negara kita bukanlah hal baru, tapi telah
mengakar kuat sejak ratusan tahun lalu ketika V.O.C menjajah bangsa dan negar
kita. Prilaku korup ini telah disaksikan dan dirasakan secara turun-temurun
oleh bangsa Indonesia. Bukan hal yang mudah untuk memerangi budaya korupsi di
negara ini, tapi juga bukan hal yang mustahil untu dilakukan. Negara kita
Indonesia ini cukup untuk menampung ratusan juta jiwa rakyatnya, tapi tidak
cukup untuk menampung satu orang koruptor yang tamak.
Maka
dari itu, hal yang paling mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah adalah
merevolusi sistem pendidikan dan pemerintahan. Pemerintah melalui institusi
pendidikannya harus merubah total sistem pendidikan warisan colonial,
desentralisasi pendidikan, dan pemerataan sarana dan prasarana pendidikan.
Kemudian sistem pemerintahan harus dirubah agar tidak membuat pejabat negara
dan penegak hukum mendapat ruang untuk melakukan tindakan korup. Kemudian
kesejahteraan para pejabat dan penegak hukum juga harus diperhatikan agar tidak
membuat mereka menghianati pekerjaan dan negaranya.
Butuh
waktu yang cukup panjang untuk memerangi dan mengurangi budaya serta
praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh pemangku jabatan dan juga
kelas-kelas menengah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa
langkah-langkah yang saya sebutkan diatas, dapat menjadi perhatian dan acuan
pihak-pihak terkait untuk menghadi persoaln korupsi di negara ini.
Apa
yang saya tulis bukanlah langkah mutlak dalam menyelesaikan persoalan korupsi
di negara ini, tapi merukan gagasan dasar dalam memerangi budaya korupsi
di lingkungan kampus dan mahasiswa.
Jika
tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi dan jika bukan kita siapa lagi.? Perang
melawan korupsi harus terus dikampanyekan, agar sikap atau mental anti korupsi
terus tertanam kuat kepada seluuh elemen masyarakat, khususnya mahasiswa. Tidak
ada kata lelah,capek,malas dan takut untuk memerangi korupsi, hanya ada
kata lawan! Untuk terus memeranginya. Jangan biarakan
negara hancur karena korupsi. Mari bersama-sama berjuang dan terus berjuang
tanpa henti melawan kecenderungan prilaku korupsi.