Demokrasi ala Sepakbola: Ditinjau dari Perspektif Suporter

Demokrasi ala Sepakbola: Ditinjau dari Perspektif Suporter

Sistem Demokrasi Indonesia

Laci Gagasan, Politik - Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi telah melalui banyak jalan terjal demokrasi selama kurang lebih 73 tahun sejak merdeka sebagai Negara bangsa. Tepat pada 17 April 2019 yang lalu, Indonesia telah menyelenggarakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai Negara demokrasi, yaitu PEMILU (Pemilihan Umum) serentak, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ini menjadi tonggak sejarah bangsa dan Negara Indonesia dalam perjalananya sebagai Negara yang menganut paham demokrasi sebagai ssstem politik dan pemerintahan.

Pemilu merupakan syarat utama agar sebuah Negara dinyatakan menganut paham dan menerapkan demokrasi secara utuh, tanpa ada pemilu tentu disebut sebagai sesuatu yang bukan atau anti terhadap demokrasi. Pemilu juga disebut sebagai “Pesta Rakyat”, karena dalam pemilu tentunya rakyat yang akan dihibur dan yang menjadi objek dalam pemilu adalah rakyat.

Yang perlu dipahami di sini, ialah sebuah pesta tentu tujuan dan arahnya adalah hiburan/menghibur. Dalam sebuah hiburan ada unsur drama yang dimainkan, dalam drama ini akan memainkan emosional para penonton (rakyat). Tentunya setiap aktor dalam drama ini, memainkan perannya masing-masing (antagonis, protagonist, dll. ) agar tercapai tujuan tadi, yaitu hiburan.

Disini penulis secara pribadi akan mengulas tentang demokrasi Indonesia dengan menggunakan kacamata atau paradigm sebagai seorang/kelompok suporter sepakbola. Semua ini berangkat atau didasari atas kegelisahan penulis melihat fenomena Negara dan politik yang berkembang di Negara demokrasi ini. 

Sebagai penikmat sepakbola, penulis melihat ada kemiripan yang cukup signifikan antara sistem sepakbola dan drama demokrasi yang terjadi di Negara ini. Tidak hanya itu, stakeholder dalam dunia sepakbola juga mirip beserta sistem yang diterapkan dengan fenomena ber-demokrasi hari ini.
 

Liga Demokrasi Indonesia

Penulis melihat Pemilu sama halnya sebuah liga dalam sepakbola. KPU sebagai penyelenggara Pemilu sama halnya dengan PSSI (PT Liga Indonesia), Partai Politik ialah Klub-klub yang mengikuti kontestasi, sedangkan Caleg/Capres adalah pemain-pemain atau starting elevent dalam partai/klub masing-masing, yang tentuya setiap partai memiliki bintang atau pemain andalannya sendiri. Terkahir dan yang paling penting adalah Rakyat sebagai supporter setia yang selalu berkorban, jiwa, raga, materi demi kemenangan partai/klubnya.

17 April yang lalu adalah awal musim Liga Demokrasi Indonesia (LDI) yang hanya berlangsung selama 36 hari, sampai partai final atau partai penentuan juara liga pada 22 Mei 2019 oleh KPU. Ada 20 partai yang ikut serta dalam memperebutkan trophy juara. 

Liga demokrasi tahun ini cukup meriah, karena ada beberapa partai promosi yang berhasil naik kasta ke liga utama seperti: PSI, Perindo, dan Berkarya. Secara komposisi peserta liga, penulis melihat ada kesamaan dengan komposisi liga Inggris (England Premier League) yang diisi oleh 20 partai/klub dan ada 3 partai/klub promosi yang digadang-gadang menjadi kuda hitam dalam liga tahun ini.

Ada beberapa hal yang sangat penting untuk dibahas terkait partai/klub peserta LDI, diantaranya:

Pertama, tiga partai promosi yang berhasil naik kasta ini, cukup banyak menarik perhatian publik. Karena ketiga partai ini membawa misi atau semangat yang berbeda-beda dengan menyebut bahwa mereka adalah pembawa perubahan yang dinanti-nanti oleh supporter/masyarakat Indonesia di era sekarang.

PSI sebagai partai baru mengusung semangat perubahan dengan menjadikan kelompok muda atau disebut “Milenial” sebagai basis konstituen. Karakter bermain dan strategi yang diterapkan cukup banyak menarik kelompok muda menjadi bagian dari partai ini. Banyak pengamat yang berjudi soal kesuksesan PSI mendulang suara dan menjadi salah satu partai yang menduduki puncak klasmen liga di akhir musim. Selain itu PSI juga dianggap sebagai partai alternative, karena dengan semangat milenial yang diusungnya mampu mengubah arah perpolitikan.

Perindo, dengan ketua umumnya adalah Hary Tanoe Soedibyo yang berlatar belakang pengusaha media, juga dianggap sebagai medioker atau penghancur partai/klub-klub lama pemuncak klasmen liga. Dengan kekuatan media, Perindo dianggap lebih mudah dalam mengkampanyekan diri sebagai partai baru atau partai alternative kepada masyarakat Indonesia. Dengan kekuatan medianya, Perindo digadang-gadang juga mampu mengisi paling tidak papan tengah klasmen liga di akhir musim.

Berkarya. Ini cukup menarik, karena Partai ini diisi oleh pemain-pemain lama yang sudah berpengalaman dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Fenomena munculnya Partai Berkarya ini semakin nyata, bahwa masih ada dualism dalam Partai yang akhirnya memecahkan diri dengan membuat wadah baru. 

Sama halnya dengan dualism yang dihadapi oleh klub-klub sepakbola Indonesia. Seperti dualism Arema, Persebaya, dan masih banyak lagi yang tidak perlu disebutkan di sini. Yang menarik dari Partai Berkarya ini, ialah karakter Orba yang masih sangat kental didalamnya, sehingga menimbulkan banyak pro-kontra soal kesuksesan partai ini di akhir musim nanti.

Ketiga partai yang digadang-gadang sebagai kuda hitam ini, ternyata tidak sesuai ekspktasi penikmat liga, karena jauh dari harapan bahkan beberapa analisa pengamat juga melenceng soal kiprah ketiga partai baru ini. Di penghujung musim, ketiganya gagal keluar dari zona degradasi karena tidak mampu melewati ambang batas minimal poin, yaitu: 4% suara nasional dan mereka berada dibawah ambang batas tersebut.

Kedua, partai penghuni zona degradasi seperti PKPI, Partai Garuda, dan PBB, ketiganya selalu berada di zona degradasi setiap musim. Mungkin lebih tepatnya sebagai kontestan pemeriah saja, yang hanya memenuhi slot yang tersedia saja. Meski pun begitu PBB sempat menarik perhatian, karena trend bermain dari pemain bintangnya (Yuzril), sempat mengacaukan penghuni klasmen papan atas. Walau akhirnya redup dan tenggelam juga dengan berbagai kendala internal dalam Partai.

Ketiga, penghuni papan tengah klasmen liga, seperti; Nasdem, PPP,PKB, HANURA, PAN, Demokrat, PKS, juga cukup ketat persaingannya untuk mencapai puncak klasmen dan menghindari zona degradasi. Pertarungan di papan tengah kalsmen liga ini cukup menarik dan lumayan ramai serta meriah. Selain menghindari zona degradasi, mereka juga berebut dan saling sikut menuju puncak klasmen atau paling tidak berada pada zona champion (4 besar) di penghujung liga. Mereka juga bersaing dalam mengantarkan mega bintangnya (Capres/Cawapres) masing-masing meraih penghargaan paling bergengsi se-Jagad Raya (Presiden dan Wakil Presdien/Ballon D’Or) setelah liga usai.

Fenomena ini sama halnya dengan perebutan gelar bergengsi antara Cristiano Ronaldo Vs Lionel Messi, dengan dukungan dari klub yang perkasa pula. Untuk dapat meraih gelar individu paling bergengsi ini, kedua kandidat Capres/Cawapres (Jokowo vs Prabowo) harus mampu mengantrakan dan menjadi actor utama klub atau partainya menjadi juara liga domestic dan international. Karena ini akan berpengaruh pada pilihan Rakyat dalam menentukan siapa pemenang yang berhak meraih gelar individu ini.

Sampai sejauh ini, Liga Demokrasi Indonesia akan segera berakhir, dengan deretan partai-partai penghuni klasmen liga dari yang berpotensi Juara sampai yang masuk zona degradasi. Menariknya kuda hitam di LDI ini adalah penghuni klamen tengah awalnya. PKB sebagai partai berbasi Islam yang lebih muda dari PPP ternyata mampu masuk ke zona Champion (empat besar) dan disusul PKS yang juga bercorak Islam berada di Zona Europa League (enam besar) keduanya ternyata medioker untuk liga musim ini.

Keempat, para calon juara liga diisi oleh PDI-P, Golkar, dan Gerindra. Meskipun sejak awal bergulirnya liga, Golkar telah menyatakan dukungannya kepada Mega Bintang dari PDI-P, yaitu Jokowi dan Ma’ruf Amin. Tetapi bukan berarti golkar akan dengan senang hati menyerahkan trophy liga kepada kedua partai di atas, karena tetap dan masih mengincar kursi di Parlemen agar dapat menjadi ketua di Parlemen (Legislatif), yang mana itu setara kekuasaannya dengan Eksekutif.

Pada akhirnya tersisa PDI-P dan Gerindra yang masih memiliki peluang juara. Golkar sudah jauh dari zona perebutan juara liga, tapi tidak berhenti disitu. Golkar harus mengambil sikap dan menetukan dukungannya akan diberikan kepada siapa dari kedua calon juara ini. Drama pun dimainkan, dengan menjaga trend postif dari pemuncak klasmen sementara (PDI-P) dan berusaha menjegal sang pesaing (Gerindra) terdekat dari zona juara. Hal ini akan dibahas lebih lanjut.

Fenomena Basis Konstituen Partai/Suporter

Membahas liga sepakbola atau Pemilu yang hanya menitikberatkan pada Klub/Partai yang bertanding di lapangan hijau/ TPS tentunya kurang lengkap tanpa melihat fenomena supporter/masyarakat diluar arena pertandingan. Fenomena supporter atau masyarakat adalah akibat dari sebab yang ditimbulkan oleh para peserta di kompetisi. Di sinilah inti dari sebuah persoalan yang ada.

Dalam sepakbola modern disertai pula dengan dukungan teknologi yang diterapkan dalam setiap pertandingan sepakbola. Sama halnya dengan demokrasi yang terus berkembang, disertai perubahan-perubahan arah dan tujuan politik. Di sepakbola dikenal VAR (Video Assistenbt Referee) sebagai teknologi yang membantu wasit dalam sebuah pertandingan. Digunakannya VAR ini dengan tujuan membuat pertandingan lebih adil dan jujur, karena akan meminimalisir kesalah wasit dalam pengambilan keputusan di setiap pertandingan.

Tetapi banyak pula yang kontra karena akan menghilangkan sisi kemanusiaan dalam hal ini kesalahan wasit semisal dan juga menghilangkan unsur-unsur dramatis dalam sepakbola, sperti; pelanggran terhadap pemain lawan yang dianggap bukan pelanggaran oleh wasit , atau sebaliknya yaitu diving atau kepura-puraan pemain demi mendapatkan hadiah kartu dari wasit untuk lawan.

Dan yang paling banyak soal gol yang dianulir, pelanggaran dalam kotak penalty karena wasit tidak mampu melihat bola secara nyata, dengan adanya VAR ini diharapkan kesalahan-kesalahan seperti itu tidak lagi terjadi. Semua ini didasarkan atas seruan dan tuntutan dari para supporter bola se-jagad raya ini. Lalu bagaimana bentuk VAR dalam Demokrasi, khususnya dalam Pemilu di Indonesia.

Liga Demokrasi Indonesia tahun ini secara tidak langsung membagi dua kelompok supporter terbesar. Di Kubu Jokowi ada kelompok Nasionalis, Agamis, dan Demokratis, sedangkan di Kelompok Prabowo diwarnai dengan Kelompok-kelompok corak lama (Orba) dengan basis kelompok Islam radikal berdasarkan stereotype media mainstream.

Kelompok supporter pertama ini menyerukan agar yang juara liga nantinya terbebas dari catatan hitam atau kasus pelanggaran HAM. Dibuatlah rambu-rambu untuk mengingatkan dan menarik simpati supporter lainnya untuk ikut bergabung dan menyuarakan hal yang sama. Karena kelompok supporter pertama ini, dalam sejarahnya banyak menjadi korban ketidakadilan atau kekejaman penguasa.

Aktivis yang menuntut pemerintah banyak yang diculik dan hilang serta tuntutan mereka tidak digubris. Sama halnya dalam sepakbola, ketika pemain mengkritik keputusan wasit bisa berujung pada dijatuhkannya kartu merah pada saat VAR belum diterapkan.

Supporter kedua membalas dengan isu penistaan agama yang dilakukan oleh pemerintah terhadap ulama dan memainkan isu fiktif atau HOAX sekaligus playing victim. Atau dalam sepakbola dikenal dengan istilah Rasisme terhadap pemain kulit hitam. Taktik ini cukup massif dalam mendulang suara dan dukungan rakyat. Pertarungan kedua kelompok supporter ini terus berlanjut dan berkembang dengan perubahan-perubahan taktik dan strategi. 

Di penghujung liga, kedua supporter ini tidak lagi saling menyerang dengan menggunakan politik identitas atau mencari dan membuat kesalahan dari kelompok lainnya, tetapi menjadikan penyelanggara kompetisi/liga (KPU) sebagai penyebab segala macam persoalan.

Ini bermula ketika kematian beberapa petugas KPPS yang jumlahnya cukup banyak, dan kelompok supporter kedua melihat ini sebagai suatu masalah yang sangat signifikan dan mempengaruhi hasil pemilu. Lagi-lagi sama halnya dengan kematian supporter sepakbola di dalam maupun diluar stadion yang diakibatkan oleh pertandingan yang sangat krusial dan bergengsi.

Kematian supporter bola dianggap sebagai kesalahan dan kelalaian pihak penyelenggara pertandingan yang mengakibatkan kematian supporter. Begitu pula KPU dan Bawaslu yang dituntut bertanggung-jawab atas kematian petugas KPPS. Sampai-sampai ini dijadikan dasar untuk melakukan pemilihan ulang atau pertandingan ulang.

KPU juga dianggap berpihak pada juara bertahan musim sebelumnya (PDI-P dan Jokowi) dan merugikan Gerindra dan Prabowo di lain pihak. Kelompok kedua mengatakan bahwa sang juara bertahan mendaptkan keistimewaan dengan menggunakan fasilitas Negara dalam melakukan kampanye secara massif yang itu dirasa merugikan sang penantang di pihak lain.

Fenomena ini menghasilkan sebuah isu politik baru, yaitu akan dan sedang munculnya gerakan yang disebut People Power yang akan memobilisasi rakyat menolak Keputusan KPU. Dengan sigap pula, kelompok supporter pertama menanggapi dengan memainkan isu “Makar” oleh kelompok supporter kedua terhadap pemerintah. Hasilnya beberapa creator People Power dihadang oleh pihak berwenang.

Tulisan ini merupakan hasil refleksi penulis selama kuliah atas fenomena politik di indonesia

Dimutahirkan: 1 Oktober 2022 

Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

1 Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama