Resensi Buku Memoar Oei Tjoe Tat

Resensi Buku Memoar Oei Tjoe Tat

Buku Memoar OTT adalah Terbitan Hasta Mitra

Oei Tjoe Tat & Ahok soal sejarah dan diskriminasi etnis Tionghoa yang terus terjadi hingga saat ini
Laci Gagasan, Etnis Tionghoa --- Oei Tjoe Tat (OTT) adalah seorang keturunan Tionghoa yang menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Dwikora Presiden soekarno tahun 1951. Dia satu-satunya turunan Tionghoa yang mengisi kursi Kabinet dalam pemerintahan, sekaligus mempertegas gagasan dan praktik nyata Nasionalisme Bung Karno.

Kehadirannya dalam pemerintahan tentu mengundang pro dan kontra serta kecemburuan Politik. Awal kemerdekaan tentunya para pemimpin negara dan Bangsa Indonesia, berebut hegemoni paham yang harus diterapkan buat negara Indonesia. Makanya awal revolusi Agustus tidak hanya tentang melawan kolonialisme, tetapi juga pertarungan ideologi dalam membentuk negara ini. Bung Karno lah yang muncul sebagai pemenang atau yang mampu mengkordinir semua ideologi dalam satu tatanan pemerintahan yang disusunnya.

Butuh waktu sekitar 67 Tahun lamanya untuk aku dapat mengenal sosok seorang Tionghoa (Oei Tjoe Tat) yang pernah ada dalam pemerintahan negara indonesia. Akhir bulan November aku mendapat buku Memoar Oei Tjoe Tat dan disitu lah aku mulai berkenalan dengan sosok tersebut. Cukup melihat sampul buku tersebut, aku sudah terkesan. Disitu tertulis bahwa OTT adalah pembantu Presiden Soekarno.

Langsung terlintas di pikiranku, pembantu presiden seperti apa orang Tiongkok ini? Kenapa bisa seorang turunan Tiongkok begitu dekat dengan Presiden, sedangkan masih banyak tokoh-tokoh hebat yang (menurutku) masih layak menjadi pembantu presiden. Semakin penasaran, aku mulai membuka dan membaca halaman per halaman dalam buku tersebut. Semakin asyik aku membaca semakin tenggelam aku dalam tulisan di buku itu.

Alur cerita yang disampaikan sangat menarik, logis, kronologis, dan bawaannya santai. Yah karena buku itu semacam catatan harian yang ditulis sejak dalam masa tahanan politik Orde Baru. Membaca buku tersebut, seolah-olah aku sedang menyaksikan drama sejarah yang begitu kelam dan menakutkan, tetapi mampu disajikan dalam tulisan yang mengalir dan menyejukkan. Sala satu kelebihan buku tersebut, banyaknya sajian gambar yang mendukung dan menjadi fakta tertulis tentang sejarah, membuat buku tersebut semakin asyik dibaca.

Kira-kira begitulah kesanku selama membaca buku tersebut, ditinjau dari sisi kenyamanan membaca dan kemudahan menangkap pesan-pesan yang disampaikan. Selanjutnya aku akan membahas tentang sedikit isi buku yang masih aku ingat.

Bagian Isi

Bab pertama buku memoar OTT menceritakan tentang sejarah singkat orang-orang Tionghoa Selatan (Hokkian) yang paling banyak berinteraksi dengan bangsa Nusantara. Menurut OTT, dia adalah keturunan seorang Tionghoa yang menjadi Tumenggung di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro sejak Mataram Islam yang mana nasabnya tersebut masuk Islam. OTT merupakan generasi ke-6 dari kakeknya tersebut.

Masa muda OTT termasuk yang beruntung, dikarenakan ia mampu mengenyam pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Sebelum negara ini merdeka, tidak semua mampu mengenyam bangku pendidikan jika bukan turunan ningrat atau konglomerat. Berhubung Orang tua OTT adalah seorang pengusaha terkemuka di Solo, membuatnya mampu mengakses pendidikan dari berbagai jenjang dan membuatnya meraih gelar sarjana Hukum dan berprofesi sebagai Advokat.

Pasca kemerdekaan, OTT sibuk dalam berbagai organisasi yang bergerak dalam isu nasionalisme dan kemanusiaan. OTT bersama rekan-rekannya yang mayoritas Tionghoa berusaha mewujudkan Hak kewargenaraan, meskipun mereka turunan Tionghoa.

Organisasi yang menjadi ruang perjuangannya adalah BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan) yang diinisiasi berdirinya oleh etnis Tionghoa. Mereka terus berupaya agar mendapatkan hak yang sama dengan warga negara indonesia lainnya. Mereka merasa menjadi bagian dari bangsa indonesia, karena mereka lahir, makan, dan hidup di bumi indonesia, sehingga mereka menuntut kesetaraan dan hak yang sama dengan warga negara pada umumnya.

Karena keuletan dan semangatnya yang progress soal urusan kebangsaan dan nasionalisme, Bung Karno akhirnya melirik OTT dan pada akhirnya mengangkat dia sebagai Menteri pembatu Waperdam. Meskipun turunan Tionghoa, OTT mampu menunjukkan loyalitas dan kesetiaannya terhadap revolusi Bung Karno. 

Itu terbukti dari kesetiaannya dalam membela Bung Karno dan ia harus menaggung derita selama 11 tahun menjadi tahanan politik Orde Baru. Meskipun kepahitan hidup yang harus ia alamai, ia tidak sedikitpun menghianati Bung Karno demi keselamatan dan karir Pribadinya di hadapan rezim orde baru.

Juga pada masa konfrontasi Malayasia. OTT menjadi agen rahasia Bung Karno selama menjalankan misi konfrontasi tersebut. Sekian banyak menteri, petinggi ABRI, dll.hanya OTT yang diberi kepercayaan untuk melakukan misi diplomasi dengan beberapa negara yang itu tidak diketahui siapa pun kecuali Bung Karno dan OTT serta para Pembantunya.

Mayjen Soeharto selaku pelaksana dan penanggung jawab konfrontasi di medan perang, tidak tahu menahu soal tujuan dan maksud dari konfrontasi (pengakuan soeharto saat bertemu OTT di markas Pangkostrad). Hal in i lah yang membuat Soeharto tidak senang dengan kebijakan Presiden terutama OTT. Soeharto merasa dirugikan dan tidak dianggap sama sekali perannya oleh Bung Karno.

Misi terakhir OTT yang diberikan oleh Presiden adalah mencari data sesungguhnya soal korban dan kejadian tragis 30 September. Saat Presiden membentuk tim khusus untuk mencari data, OTT ditugaskan secara rahasia untuk mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan tragedi 30 september.

Karena presiden sudah paham, bahwa sudah banyak orang kepercayaannya yang berkhianat sejak tragedi tersebut, makanya hanya OTT yang masih dipercaya menjalan tugas dan perintah terakhir presiden. Setelah tim khusus selesai melakukan tugasnya dan menyampaikan jdiketahui Presiden), kemudian OTT dipanggil ke ruangan Presiden untuk menyampaikan temuannya sendiri yang tentunya sangat paradoks dari laporan tim khusus tersebut.

Bab terakhir lebih banyak bercerita tentang pengalaman pahit OTT selama dalam tahanan serta apa saja yang ia lihat dan lakukan. Sampai pada akhirnya ia dibebaskan pada tahun 1973 tanpa ada tuntutan dari pengadilan, karena dia tidak bisa dibuktikan bersalah. Mengalami masa tahanan selama itu tanpa kejelasan dan keadilan, tentu tidak semua mampu, apalagi seorang turunan Tionghoa yang masih dianggap bangsa asing di negeri ini sampai sekarang.

Isu rasis dan diskriminasi terhadap minoritas sudah terjadi sejak awal revolusi negeri ini. Bahkan kekerasan terhadap kaum minoritas pun terjadi hingga pertumpahan darah. Sekitar tahun 1962 kekerasan terhadap etnis Tionghoa sudah terjadi dan menjadi catatan kelam bagi bangsa dan negara indonesia. Artinya bahwa apa yang terjadi hari ini tidak lepas dari peristiwa serupa yang pernah terjadi beberapa masa silam.

Tindakan Diskriminasi Era Milenial

Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, bahwa kejadian sejarah pasti terulang dan serupa. Ahok seorang turunan Tionghoa (sudah ganti nama) yang juga menjadi bagian dari pemerintahan indonesia, tepatnya seorang Gubernur DKI Jakarta yang mana jabatan tersebut menajadi rebutan dan incaran hampir seluruh politikus nasional. Ahok harus dan wajib disingkirkan dari panggung kekuasaan, dikarenakan dia masih Turunan tiongkok, yang itu dianggap (masih) bangsa asing sejauh ini.

Individu atau pun kelompok yang berhasil menjatuhkan dan menjauhkan Ahok dari pentas kekuasaan adalah mereka yang berwatak dan berkarakter Orba tulen tentunya. Tidak peduli Ahok atau OTT itu memiliki kinerja dan pengabdian yang tulus terhadap rakyat indonesia, hanya karena dia berdarah Tionghoa, maka harus disingkirkan dengan cara apa pun.

Akhir rezim orde lama, ABRI muncul sebagain kekuatan utama yang mengendalikan dan mengambil alih kekuasaan negara. Meskipun Bung Kaarno masih sebagai Presiden indonesia secara de jure, tidak mampu menyelamatkan orang-orang yang membantunya di pemerintahan (termasuk OTT) dari sergapan dan penangkapan liar oleh Orba. Karena secara de facto Bung Karno sudah tidak mampu lagi mengendalikan pemerintahan yang mana sudah diatur sedemikian rupa oleh Orba.

Sama halnya dengan apa yang dialami oleh Ahok. Ahok tidak dapat dibuktikan kesalahannya dalam memimpin DKI, bahkan goncangan politik yang ada tidak mampu menggoyang kekuasaan Ahok. Maka dibuatkanlah drama agar Ahok dapat tersingkir, dengan cara memancing emosi. Ahok pun terpaksa mengeluarkan statement yang dipolitisir dan menjadi batu sandungan kekuasaan Ahok. 

Ahok dihajar dan dihantam oleh kekuatan salah satu ormas islam radikal, sehingga tersingkirlah dia dari panggung kekuasaaan. Dalam kasus ini, Presiden pun tersandera dan tidak bisa mengambil langkah politik. Kasus Ahok dijadikan batu sandungan agar Presiden Jokowi juga tersandung dan terseret dari panggung kekuasaan.

Fakta menariknya adalah, OTT dimusuhi oleh parpol Masyumi begitupun Bung Karno. Ahok dimusuhi oleh Ormas Islam (FPI), yang keduanya sama-sama didukung kelompok militer. OTT dipaksa membuat pengakuan palsu (keterlibatan G30S PKI), namun dia tidak pernah mau dan memilih ditahan tanpa kepastian Hukum selama 11 tahun. Ahok juga dipaksa bekerjasama oleh mafia-mafia politik, namun malah berbalik menentang dan melawannya secara terbuka. OTT dan Ahok sama-sama memiliki prinsip yang kuat dan tidak dapat dibeli dengan cara apa pun kecuali drama jebakan politik yang sudah diatur.

Dari kedua Tokoh ini kita dapat belajar, bahwa sehebat apa pun seorang pemimpin jika dia turunan Tionghoa, maka tetap diupayakan untuk disingkirkan dengan cara apa pun. Beda halnya jika dia turunan Arab atau Indo-eropa. Tidak ada masalah dengan mereka, meskipun, tidak mampu berbuat apa-apa.

Dimutakhirkan: 1 Oktober 2022






Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama