Meneriakkan Nasionalisme, Sekaligus Mempertahankan Rasisme

Meneriakkan Nasionalisme, Sekaligus Mempertahankan Rasisme

Nasionalisme dan Rasisme berjalan Beriringan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Laci Gagasan, Pahlawan - Dalam sejarah kolonialisme atau penjajahan yang dialami oleh bangsa yang ada di Nusantara ini, terdapat banyak bangsa yang sudah menghuni dan berlalu-lalang di nusantara. Bangsa dari Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia semuanya telah ada di Nusantara dalam kepentingannya masing-masing dan berhubungan satu sama lain. 

Sayangnya bangsa yang sudah lama menghuni tanah ini (sebut saja pribumi) menjadi bangsa inlander saat kedatangan ras kulit putih eropa (baca: kolonialisme VOC/Belanda). Sedangkan bangsa yang lainnya saat era kolonial disebut sebagai bangsa kelas menengah yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari bangsa nusantara dan memiliki hak istimewa untuk berhubungan dengan bangsa penjajah.

Ada dua bangsa asing yang paling sering disebut dalam sejarah sebagai bangsa kelas menegah di tanah Nusantara, yaitu; Arab dan China. Kedua bangsa ini memliki hubungan dagang dengan pemerintahan VOC saat itu, makanya diberi hak istimewa lebih tinggi diatas hak pribumi. Sederhananya kedua bangsa ini memiliki sejarah buruk sejak era kolonial, karena menjadi mitra para penjajah dalam melancarkan segala urusannya. Fakta ini tidak bias disangkal lagi kebenarannya, sebab memang begitu adanya.

Di sisi lain juga ada sekelompok orang China maupun Arab yang ikut membantu para pribumi berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa orang-orang China dan Arab, anak cucu mereka yang lahir di Indonesia sebagai bangsa asing. Mereka pun punya Hak atas tanah Indonesia ini. Tapi nyatanya hari ini, anak keturunan China selalu mendapatkan prilaku dan tindakan yang diskriminatif oleh bangsa atau suku lainnya yang di Indonesia.

Salah satu Tokoh yang sampai saat ini belum diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya generasi Milenial adalah seorang loyalis/pembantu Presiden Soekarno, berkebangsaan China, yaitu; Oei Tjoe Tat. Bahkan dia pernah dingkat menjadi Menteri dalam kabinet Soekarno.

Sebelumnya ia sempat mengajukan permohonan mengganti namanya agar lebih terdengar pribumi, tapi Soekarno langsung berang dan mukanya merah karena ia tidak ingin Oei Tjo Tat menanggalkan identitasnya sebagai seorang Chinese, dengan tetap memakai nama itu, ia diminta untuk tetap menghargai leluhurnya yang telah memberinya nama seperti itu.

Soekarno bersikap demikian karena beliau ini satu-satunya Politikus dan negarawan yang sangat Nasionalis melebihi siapapun di jamannya. Bagi Soekarno, nasionalisme itu diatas segalanya dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Soekarno bukanlah seorang yang rasial, baginya siapa pun dan dari bangsa mana pun, ia tetap menjadi bagian dari Negara dan bangsa Indonesia, selama ia berpihak dan berjuang bersama Indonesia.

Mungkin ada yang menyangkal tulisan ini sebagai bentuk pembelaan terhadap keturunan Chinese/tionghoa, karena tidak sedkitpun menyebutkan tokoh-tokoh berkebangsaan Arab yang disebutkan disini. Hal ini saya lakukan karena anak turun orang-orang Arab sudah banyak dan hampir ada di setiap sudut pemerintahan Negara ini, dan mereka tidak pernah dipermasalahkan, sekalipun mereka itu membuat kekacauan, beda halnya dengan anak keturunan Tionghoa yang selalu dianggap sebagai bangsa asing yang harus dimusuhi. Tulisan ini bukan untuk membela satu bangsa diatas bangsa lainnya, tetapi untuk mengajak siapapun itu untuk bersikap adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang itu tidak ada prilaku SARA yang terus dimasifkan.

Negara ini seolah membuat tembok penghalag terhadap keturunan Tionghoa, jangan sampai mereka ini mengisi kursi pemerintahan. Meskipun mereka sudah beberapa generasi tinggal dan hidup di Indonesia, sudah mengganti nama, ketika mata mereka masih saja sipit, mereka tidak boleh lama-lama memangku jabatan, karena mereka bukan bagian dari bangsa Indonesia. Kurang lebih seperti itulah bentuk diskriminasi yang dialami anak keturunan Tionghoa yang ada di negri ini.

Yang sempat membuat geger ketentraman Negara ini adalah munculnya Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tidak peduli seberapa baik,cerdas,dan kompetennya dia dalam memimpin rakyat DKI menuju kemajuan yang progress, hanya karena dia seorang turunan Tionghoa, dia harus dilengserkan dan dijauhkan dari kekuasaan dengan cara apa pun itu.

Beberapa quotes dari Ahok yang cukup mengiris nalar dan semangat kebangsaan kita, seperti; “Gua memang china. Tapi gua, dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Apa salah kalo gua ingin membangun Indonesia yang bersih dari system korup” dan “Nasionalisme sempit itu bahaya; Biar jelek, biar maling, yang penting sesuku, satu ras, dan seagama dengan saya. Hal ini yang membuat Negara kita terpuruk.” Siapapun yang masih punya nalar sehat, pasti bisa menangkap pesan dari Ahok, kecuali yang nalarnya sudah disetting menjadi nalar rasis yang buntu dan buta terhadap kebenaran.

Beda halnya jika yang melakukan kerusakan di Negara ini keturunan Arab, Eropa, dll. Mereka bahkan tidak pernah diadili apalagi ditanya dan dipermasalahkan asal keturunan mereka. Ambil contoh Habib Rizieq Sihab, yang jelas-jelas keturunan Arab. Dia seolah orang paling suci di muka bumi dan paling diagung-agungkan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan ada yang rela mati demi membela tuannya tersebut. Sebuah kekonyolan dan ironi kehidupan berbangsa di Negara ini.

Herannya lagi, masyarakat Indonesia mengidolakan atlet bulutangkis, seperti; Marcus Gideon, Kevin Sanjaya, Jonathan Christie, yang jelas-jelas keturunan Tionghoa. Kenapa masyarakat Indonesia tidak mengakui prestasi mereka sebagai presatsi anak keturunan Tionghoa yang mengharumkan nama Indonesia. Sederhananya begini:

1. Jika salah seorang melakukan atau dianggap melakukan kesalahan, maka dia akan dihukum, kalau dia Tionghoa, maka dia akan didiskriminasi.
2. Jika dia mengahrumkan nama Indonesia di kancah internasional, tidak peduli dia keturunan mana, sekalipun dia Tionghoa tidak disinggung sama sekali asal keturunan mereka, dia tetap dianggap sebagai orang di Indonesia.

Sebagai Negara yang heterogen dengan kondisi geografis yang terbentuk dari ribuan pulau-pulau, sudah sewajarnya jika bangsa dan Negara Indonesia ini dibangun bersama oleh seluruh bangsa yang ada dalam paying hukum Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya omong kosong belaka jika kita terus galakkan nasionalisme, tetapi masih rasis terhadap putra putri Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia, apalagi mereka ini ingin berpikir, bekerja, dan berjuang demi kemajuan Negara Indonesia.
 
Semoga momentum Hari Pahlawan ini bisa memberi peringatan bagi kita semua putra-putri Indonesia dari berbagai suku,bangsa,ras,dan agama untuk saling menghargai satu sama lain. Kemudian menggalang persatuan dan kesatuan seluruh bangsa di tanah air demi memajukan Negara menjadi lebih baik dan bermartabat dengan nilai-nilai kemanusian yang tinggi, serta tetap berdasar pada Pancasila.!

Dimutakhirkan: 4 Oktober 2022
Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama