Mahasiswa Pahlawan Masa Depan Bangsa dan Negara

Mahasiswa Pahlawan Masa Depan Bangsa dan Negara

Tugas dan Amanat Yang Harus Diemban Mahasiswa

Laci Gagasan, Sosial Politik --- Pahlawan selalu dimaknai sebagai pejuang-pejuang terdahulu yang telah wafat dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Jarang sekali yang melihat bagian dari asal mula terbentuknya semangat perlawanan dan lingkungan seperti apa yang telah membesarkan semangat perlawanan dari para pejuang terdahulu. Dalam tulisan iniakan dibahas Materialisme-Historis mahasiswa sebagai pahlawan masa depan  bangsa ini.

Para pejuang terdahulu sangat dekat dengan lingkungan masyarakat sekitar dan begitu mengenal kehidupan di masyarakat. Mereka (pejuang/pahlawan) juga terdidik dalam lingkungan intelektual yang kuat sehingga pandangannya jauh ke depan dalam menatap kehidupan bangsa dan negara. Tradisi intelektual yang kuat tidak bisa lepas dari kehidupan masa muda para pahlawan bangsa ini. Misalnya; Pangeran Diponegoro dari Mataram Islam dan Sultan Hasanuddin dari Goa Tallo.

Pangeran Diponegoro menguasai banyak kitab Islam dan Serat Kerajaan serta dekat dengan masyarakat kecil, begitu pila dengan Sultan Hasanuddin yang menguasai banyak bahasa asing yang membantunya dalam memahami watak politik kolonial, dan masih banyak tradisi intelektual lain yang tidak bisa disebutkan semuanya disini. Kemudian pahlawan yang sangat terkenal dari Surabaya (Bung Tomo) yang sangat berpengaruh dalam meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya dan ditetapakan sebagai Hari Pahlawan.
 
Mahasiswa atau generasi penerus bangsa selanjutnya harus menggali dan melanjutkan tradisi intelektual yang tinggi dari para pahlawan bangsa ini. Bukan pada semangat perlawanan fisik yang harus ditiru, karena perlawanan itu harus diilhami oleh pengetahuan yang luas. Karena di jaman globalisasi ini, penjajahan bukan lagi lewat fisik, namun penjajahan kognitif yang sangat berakar kuat. Jika isi kepala telah dipenjarakan lewat budaya apatis, hedonis, dan pragmatis, maka takkan ada lagi perjuangan pembebasan yang dapat dilakukan oleh generasi selanjutnya.

Teringat kutipan sastrawan terbesar bangsa ini (Pramodya Ananta Toer); “adillah sejak dalam pikiran”. Yang mengandung makna implisit bahwa kita harus merdeka dalam berpikir dan akan menentukan gerakan kedepannya. Apa yang dilakukan oleh pemuda hari ini akan menentukan nasib bangsa kedepannya. Namun di abad 21 ini, dimana ideologi liberalisme kapilisme telah menghancurkan peradaban dunia, khususnya belahan dunia ketiga yang didalamnya adalah Indonesia.
 
Mahasiswa hari ini sudaah sangat jauh dari tradisi intelekktual dan buta terhadap realitas yang menindas masyarakat kecil. Dengan kebiasaan hidup yang serba instant dan tidak mau berpikir keras, lambat laun akan menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya mahasiswa, lingkungan pendidikan kampus hari ini seolah penjara kaca yang mengekang secara tidak sadar. Gaya hidup di kampus dan kurikulum juga merupakan alat pembodohan yang paling ampuh dalam membuat kesadaran palsu mahasiswa.

Dengan adanya profesor instant di internet, membuat mahasiswa malas baca, diskusi, apalagi aksi, semuanya serba kopi-paste. Tempat nongkrong mahasiswa hari ini adalah Mall, Starbucks, KFC, McDonald, dan tempat-tempat lain yang membentuk budaya pragmatis, apatis, hedonis, dan apolitis. Perpustakaan seolah menjadi rumah haantu bagi mayoritas mahasiswa, ruang-ruang publik di kampus yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk berdiskusi malah ditinggalkan. Dengan menyandang predikat sebagai agent of change and agent of control social, merupakan tanggung jawab besar bagi mahasiswa.

Kesanggupan dan kecakapan dalam melakukan perubahaan dan kontrol sosial tentu dibarengi kekuatan intelektual yang kuat agar dapat mewujudkan hal tersebut. Tentunya sangat sulit nan berat tugas yang harus diemban mahasiswa sebagai pahlawan masa depan bangsa dan negara. Lalu siapa lagi yang dapat diharap mengemban tugas da amanah ini jika bukan dari generasi muda harapan bangsa, yaitu MAHASISWA.
Gagasan tidak dapat dipenjarakan meskipun tubuh ini dipenjarakan bahkan telah wafat sekalipun.
Sejarah dunia adalah sejarah para pemuda. Napoleon Bonaparte (raja Prancis) pernah mengatakan bahwa dia lebih takut terhadap ujung pena ketimbang 1000 meriam. Kehebatan Hitler membangun Nazi jerman, Jean. J. Rousseau pemimpin besar revolusi Prancis, Sun Yat Sen di China, dan Soekarno-Hatta di indonesia. Segelintir pemiimpin dunia tersebut merupakan pemuda yang besar dalam tradisi intelektuual yang kuat dan mampu membawa bangsanya tampil di permukaan.

Hal ini tak dapat dipungkiri lagi, bahwa pemuda yang kuat dan besar dalam tradisi intelektual yang tinggi merupakn jawaban dari tantangan zaman yang ada. Jika kita melirik sedikit kehidupan intelektual pemimpin besar revolusi indonesia (Soekarno-Hatta) tentu sangat mengerikan. Saat masih muda, Soekarno besar dilingkungan H.O.S Cokroaminoto, Muso, Kartosuwiryo yang merupakan tokoh-tokoh besar bangsa ini. Sampai-sampai Soekarno tidur dengan kasur yang beralaskan buku, dan kamarnya penuh dengan buku. Lalu bagaimana dengan bung Hatta? Beliau sangat menghargai buku, saat ingin pulang ke Indonesia dari Belanda, beliau tidak ingin pulang apabila buku-bukunya dalam beberapa peti besar, tidak ikut dipulangkan.

Begitu juga saat di pengasingan bersama Syahrir, dia sangat marah ketika bukunya tertumpahi kopi Syahrir oleh anak angkatnya. Ini menunjukkan betapa kuatnya tradisi intelektual yang dialami oleh para pendiri bangsa ini, namun tidak mampu dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Karena pemuda/mahasiswa hari ini lebih senang beli paket internet dan nongkrong di warung makan gede ketimbang mengalihkan uang jajannya untuk belanja buku. Padahal buku adalah investasi intelektual di masa depan bagi mahasiswa.

Dimutakhirkan : 20 September 2022


Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama