PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki
landasan gerakan (Nilai Dasar Pergerakan), landasan ideology, serta paradigm,
masih memiliki banyak persoalan sampai hari ini. Salah satunya adalah perdebatan
mengenai kembalinya PMII ke tubuh NU yang masih hangat terdengar, meskipun
perdebatan tersebut dinilai beraroma politik praktis bagi kalangan tertentu. Selain
itu sistem pengkaderan yang masih semrawut dan belum memiliki orientasi gerakan
bagi kader-kader PMII ke depan, administrasi organisasi, yang masih kusut dan
tidak tertib, hingga yang paling parah menurut saya adalah belum adanya paradigma
gerakan PMII yang baku bagi seluruh kader dari tingkatan Rayon sampai PB.
PMII yang sudah berumur lebih dari 50 tahun,
idealnya menjadi organisasi yang semakin progress, baik dari segi kualitas dan
kuantitas kader, maupun dari segi strategi dan taktik gerakan dalam menghadapi
perubahan zaman. Akan tetapi umur tidak dapat menjamin sebuah organisasi
semakin progres dalam menghadapi realitas zaman yang mengekang, menindas, dan
membodohkan, jika kadernya tidak militan dan punya tekad keras. Dalam hal ini PMII
misalnya, yang hingga kini masih terbawa arus, ibarat sebuah kapal di tengah
lautan yang tidak tahu arah dan tujuan.
PMII Pasca Reformasi
PMII sampai sejauh ini terlihat semakin dekat dengan
kekuasaan (pemerintah). Kondisi ini sangat berbeda jauh jika dibandingkan
dengan zaman Orde Baru. Jika pada zaman Orde Baru PMII vis a vis dengan negara dan mengambil jarak dari pemerintahan,
memilih gerakan akar rumput dengan terjun ke masyarakat bawah, maka Pasca Reformasi
PMII justru perlahan mendekati penguasa dan ikut andil dalam sistem
pemerintahan saat ini. Terbukti dengan banyaknya menteri di kabinet Jokowi-JK
yang alumni PMII.
Pola pikir kader-kader PMII pun secara tidak
langsung ikut terpengaruhi. Bahkan dalam proses pengkaderan awal (mapaba/PKD)
beberapa senior sudah mengiming-imingi calon kader dengan menunjukkan senior-senior
yang sudah memiliki tempat di Jakarta. Sehingga banyak kader yang mulai pragmatis
dan berubah orientasi. Kader yang awalnya ingin belajar, berdiskusi, membaca
buku, serta mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi, seketika berubah menjadi
penunggu warung kopi, pemburu senior berduit dan pendengar dongeng-dongeng
politik praktis hingga berakibat pada malasnya kader dalam mengikuti agenda
organisasi dan lupa dengan tujuannya mengikuti organisasi.
Sepintas memang tidak terlihat adanya persoalan yang
diakibatkan oleh banyaknya senior PMII yang duduk di pemerintahan maupun orientasi
kader yang kian berubah. Akan tetapi yang menjadi persoalan disini adalah PMII
sebagai organisasi gerakan tidak seharusnya meninggalkan kebiasaan lama dan
merubahnya menjadi gerakan elitis pragmatis. Gerakan akar rumput dengan terjun
langsung ke masyarakat masih sangat diperlukan, apalagi posisi seorang kader
yang notabenenya adalah insan akademisi mempunyai tanggung jawab untuk mengabdi
kepada masyarakat sebagai bagian dari tri dharma perguruan tinggi.
Persoalan
Ke-organisasi-an
Penjelasan diatas menunjukkan persoalan yang umumnya
di hadapi kader PMII di tingkatan bawah. Pada bagian ini saya akan menyoroti
persoalan di internal organisasi. Dis-orientasi gerakan PMII disebabkan oleh
landasan paradigma gerakan yang hampir tidak jelas bentuknya.
Pengurus Besar PMII tidak mampu memberikan formulasi
paradigma bagi gerakan PMII dari Rayon sampai PB. Bahkan, pada kongres di Jambi
kemarin juga tidak sempat membahas kerangka paradigma yang aktual bagi PMII
hari ini. Yang di bahas hanyalah persoalan kepentingan dan politik bagi
segelintir kader. Jadi wajar saja jika PMII terkesan bingung dan latah dalam
menghadapi persoalan kenegaraan.
PMII secara institusi bahkan tidak punya sikap dalam
menghadapi persoalan real di
masyarakat seperti ; reklamasi, penggusuran, kasus agraria kulonprogo dan semen
kendeng. Padahal gerakan seperti itu sangat identik dengan PMII era Orde Baru.
Baru-baru ini PB justru sibuk mengunjungi jokowi di istana Negara, dan tidak
jelas apa yang dibahas.
Persoalan diatas masih termasuk kondisi umum PMII,
belum lagi persoalan regional masing-masing. Di Jogja misalnya ; perdebatan
terkait paradigma PMII (dalam hal ini Paradigma Kritis Transformatif) juga
tidak menarik lagi bagi sebagian besar kader. Seolah paradigma ini menjadi
momok dan dianggap dapat merongrong kekuasaan senior yang memangku jabatan. Hal
ini disebabkan oleh ketakutan terhadap PKT sebagai paradigma gerakan yang
sangat ditentang oleh senior-senior politis dan dinilai anti kemapanan.
Hal ini pada akhirnya mengakibatkan sebagian besar Rayon
dan Komisariat di bawah naungan Cabang D.I.Y. tidak menggunakan paradigma PKT sebagai
paradigma gerakan. Sehingga kini PMII hanyalah ibarat basis massa bagi partai
politik, karena tidak memiliki paradigma gerakan yang berujung pada tidak
mampunya PMII menyikapi persoalan kemasyarakatan hari ini.
PMII mungkin sudah sangat gemuk karena diberi makan
oleh para politikus hingga tidak mampu bergerak lagi. Otak-otak kader berubah
menjadi sangat oportunis pragmatis. Yang paling parah adalah hampir tidak ada lagi
kader atau Institusi PMII yang mendiskusikan terkait paradigma gerakan. Mereka
lebih memilih membahas gerbong politik yang akan dituju dan begitu tertarik
menggiring kader-kadernya memasuki jajaran pemerintahan.
Oleh karena itu, jika ingin menyelamatkan PMII dari
kehancuran, maka jauhkanlah dari lingkungan politik praktis dan perkuat kembali
orientasi gerakan dengan landasan paradigmatik yang aktual dan berpihak pada
rakyat kecil.
***
Tags:
Dunia Mahasiswa