“Epistemologi: Idealisme
berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi
pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal
yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan
gejala-gejala psikis, roh, budi, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.”
(Wikipedia)
Ada
banyak orang, termasuk saya juga yang memahami konsep atau pengertian atau
apalah tentang idealisme masih kacau balau. Entah karena kerumitan dari
idealisme itu sendiri sehingga sulit untuk dipahami. Atau bahkan karena tidak
bakunya makna dari idealisme itu sehingga orang dengan bebas memberi makna
sendiri sesuai keinginannya.
Berdasarakan
pengalaman saya selama tiga tahun ini, dari lingkungan kampus,gerakan, bahkan
kos-kosan, pemahaman saya terkait idealisme itu terus berubah. Bisa dibilang
saya ini plin plan lah, tidak konsisten. Jangankan mempertahankan idealisme,
memahami idealisme itu sendiri masih plin plan. Kalau pun ada yang ngenyek, aku mah cuekkk.hahahahahha.
Pertama
kali saya mendengar kata idealisme, ketika saya mengikuti Pelatihan Kader Dasar
(PKD) PMII. Selama proses pengkaderan itu, saya berdiskusi dengan angkatan
sebelum saya atau biasa disebut senior. Mereka ini mengajarkan tentang
idealisme seorang mahasiswa, khususnya kader PMII. Secara garis besar,
idealisme yang aku tangkap dari omongan mereka itu, bahwa mahasiswa harus
kritis terhadap segala hal, menolak sistem apa saja, dan yang paling penting
adalah tidak percaya omongan dosen. Saat itu aku bilang, “apa bener nih yang
diomongin orang ini” (tentunya dalam hati, soalnya masih belum berani), maklum
gue malu2 kucing.
Pasca
PKD, semakin sering ketemu dan diskusi dengan senior-senior yang berbeda
angkatan atau yang jauh lebih tua. Secara umum mereka menyebut idealisme
seorang kader adalah ketika tidak pernah berkompromi dengan segala bentuk
penjajahan dan penindasan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Saya dan
teman-teman saya, bahkan juga generasi setelah saya, menganggap bahwa kader
tidak boleh berpolitik, karena itu akan mencederai atau bahkan menghilangkan
idealisme seorang kader. Karena pandangan semacam ini, banyak kader yang layu
sebelum masanya.
Entah
kenapa, saya mengakui omongan dari senior-senior di PKD itu. Ketika balik ke
kampus, saya tidak lagi takut dengan dosen, aku anggap semua omongan dosen itu
payah dan tidak berbobot. Kemudian saya di press oleh senior untuk selalu
membaca buku, agar tidak kalah dengan dosen dalam hal pengetahuan.
Nah!
Dari baca buku ini lah, saya juga berkenalan dengan istilah idealisme. Secara
terminology maupun etimologi, istilah idealisme yang saya dapatkan di buku
ternyata jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh senior saya saat PKD.
Sampai di sini, setahu saya, idealisme adalah konsep pemikiran yang dicetuskan
oleh Plato sejak zaman yunani klasik.
Beberapa
tahun belakangan ini, terus terjadi pergolakan batin dan pikiran, karena saya
merasa (bisa dibilang) sakit hati. apa yang saya pelajari dan yang saya lihat
ternyata tidak sesuai. Persoalannya ada pada “apa itu idealisme” yang hampir
membuat saya putus asa. Seiring waktu berjalan, entah karena takdir atau
apalah, saya tetap menyelam di dunia gerakan dan masih ngopi bareng dengan
senior-senior. Saya mencoba memahami, bahwa idealisme gerakan yang pertama kali
saya pahami ketika PKD, itu hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.
Perlahan-lahan saya buang pemikiran awal
tersebut.
Menuju Pencerahan
Suatu
ketika saat sedang ngopi di blandongan, seorang senior mengajak saya ketemu
seorang Filsuf Gerakan di Kebun Laras. Awalnya saya hanya ikut saja, tidak
bertanya mau ketemu siapa, yang penting ikut aja. Sang filsuf ini adalah sosok
yang membuat saya kagum, hanya dalam sekali tatap muka. Filsuf ini bercerita
banyak hal, dari yang saya ketahui, yg tidak saya ketahui sehingga saya tahu,
bahkan beliau juga lebih paham diri saya ketimbang saya sendiri memahami diri
saya. Malam itu, saya mengikuti forumnya sampai jam 9 pagi nonstop tanpa tidur.
Saya tidak sadar waktu, ketika yang lainnya sudah pada tepar, saya seorang diri
menahan kantuk, hanya untuk mendengar dan menyimak setiap kata yang keluar dari
mulutnya.
Setelah
bertemu dan duduk bareng sambil diskusi, tak lupa kopi yang selalu menemani
obrolan kami. Dari filsuf ini juga lah saya mengenal dan memahami lebih baik
tentang arti idealisme dalam dunia mahasiswa, khususnya insan pergerakan. Kalau
saya sederhanakan dalam bahasa saya dan pemahaman saya juga, maksud beliau
tentang idealisme adalah: apa yang menjadi cita-cita gerakan seorang kader atau
organisasi harus mampu diperjuangkan dan mampu hidup dengan idealisme yang ia
perjuangkan. Artinya agenda gerakan apa pun yang sedang dibangun, itu harus
memiliki kemampuan material. Untuk mendapatkan materi ini, tentu kita harus
berkompromi atau mengajak stakeholder yang memiliki kekuatan materi. Entah itu
kita mengajak politikus, pemodal, pemerintah, atau siapa pun yang mampu memberi
sumbangsih materi terhadap gerakan yang sedang dibangun, itu tidak masalah.
Hanya saja yang perlu dicatat, gerakan yang kita bangun adalah gerakan yang
tujuannya membangun atau berpihak pada
masyarakat akar rumput. Kenapa harus mengajak, karena gerakan itu butuh
materi, dengan mengajak pihak terkait, kita bisa mempertahankan agenda gerakan
agar tetap hidup dan berjalan. Banyak kasus, agenda gerakan itu macet, karena
tidak punya kekuatan materi. Bahkan yang paling parah adalah berselingkuh
dengan pihak tertentu dan mengambil kesempatan dalam kesempitan (politisasi
gerakan). Kejadian semacam ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang anti
terhadap politik, pemerintah, sistem, dll, tapi sering selingkuh di balik layar.
Kesimpulan
saya adalah: idealisme seorang insan gerakan adalah mampu mempertahankan
gagasan dan cita-cita perjuangannya. Tidak terjebak pada asumsi yang menyebut,
bahwa kader yang terjun ke dunia politik akan hilang idealismenya. Politik hanya
sekedar alat dalam memperjuangkan idealisme. Jadi idealisme tidak anti terhadap
politik!!!!