Tidak adanya kemerdekaan berpikir dalam diri kader PMII membuatnya mudah terbawa arus konflik yang tidak begitu penting. Setelah saya membaca tulisan sahabat Malik Haramain yang terbit 15 tahun lalu, menunjukkan betapa stabilnya PMII dalam absurditas intelektualnya serta sikap politik yang tidak jelas. Dalam 15 tahun terakhir, permasalahan yang dialami PMII hampir tidak ada kemajuan baik dari corak intelektual, sikap politik serta orientasi gerakan.
Sebagai kader PMII Jogja di kampus UIN, saya melihat PMII sebagai suatu life style di kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa UIN. Di mana PMII begitu tenar dan diktator serta mayoritas di kampus ini. Banyak kader yang hanya numpang nama saja, nyari teman, serta hanya ingin tahu saja, bahkan hanya ikut temen karena terpaksa, dll.
Semuanya ini tidak terlepas dari corak gerakan dan intelektualitas yang absurd di PMII. Setiap tahunnya PMII menjaring kader 500-an lebih di UIN, dan akan dijadikan sampah saja. Proses perekrutan kader yang sebanyak-banyaknya tanpa proses pengawalan yang jelas terhadap kader terus terjadi setiap tahun.
Kebanyakan dari mereka akan terdegradasi dan hanya segelintir kader yang mampu bertahan hingga kepengurusan Rayon. Banyak alasan yang muncul dari mulut sampah ini, ada yang merasa tidak nyaman, tidak sesuai hobby, menghambat proses kuliah,dsb.
Hampir dua tahun saya menjadi kader PMII dan terus mencari tahu corak pemikiran dan sikap politik PMII namun tak kunjung menemukan kejelasan. Setiap kali menanyakan ke senior yang satu ke senior yang lain, jawabannya sama saja. Sama-sama tidak jelasnya. Dalam proses kaderisasi di tingkatan rayon, kader dicekokin berbagai literature dan dibiarkan liar untuk mengonsumsi wacana apa saja.
Hampir dua tahun saya menjadi kader PMII dan terus mencari tahu corak pemikiran dan sikap politik PMII namun tak kunjung menemukan kejelasan. Setiap kali menanyakan ke senior yang satu ke senior yang lain, jawabannya sama saja. Sama-sama tidak jelasnya. Dalam proses kaderisasi di tingkatan rayon, kader dicekokin berbagai literature dan dibiarkan liar untuk mengonsumsi wacana apa saja.
Hal ini membuat kader jadi semacam gado-gado ketika ada diskusi, karena tidak ada pendoktrinan wacana yang jelas dari rayon dan juga kedepannya kader diarahkan kemana. Karena penanaman intelektual yang apa adanya dan seenaknya saja membuat corak intelektual kader PMII ngambang. Semuanya tidak terlepas dari proses pemetaan wacana yang rancuh, sehingga ranah gerakan sosial juga tidak jelas.
Harusnya proses kaderisasi di rayon itu baku dalam hal pembangunan intelektual. Harus ada kurikulum yang disusun, sehingga orientasi dari pembangunan pengetahuan kader jelas akan diarahkan kemana. Harus ada ideologi yang dibangun di Rayon dan kader harus mampu memahami ideologi itu agar sikap politik menjadi jelas. Apakah ekstra atau intra parlementer. Ini yang menjadi permasalahan dalam PMII, karena orientasi gerakannya masih belum jelas.
Dengan berbagai macam permasalahan di masyarakat serta realitas politik yang belum mapan (sistem politik yang belum demokratis) hari ini, maka PMII harus berada di ekstra parlementer atau pressure group (kelompok penekan) sebagai sikap gerakan. Walaupun saat ini telah banyak alumni PMII yang duduk di kursi panas kekuasaan, bukan berarti semua kepentingan rakyat mampu di akomodir.
Dengan berbagai macam permasalahan di masyarakat serta realitas politik yang belum mapan (sistem politik yang belum demokratis) hari ini, maka PMII harus berada di ekstra parlementer atau pressure group (kelompok penekan) sebagai sikap gerakan. Walaupun saat ini telah banyak alumni PMII yang duduk di kursi panas kekuasaan, bukan berarti semua kepentingan rakyat mampu di akomodir.
Karena perubahan tidak berawal dari sistem, namun tekanan dan pergolakan orang pinggiran. Dengan sikap yang jelas seperti ini, maka kader PMII bergerak dengan tujuan yang pasti yaitu; sebagai kelas di yang mengontrol segala kebijakan pemerintah dan meneriakkan agar kepentingan rakyat tertindas dapat terwujud. Dari sini pun dapat dirumuskan corak pemikiran atau konsumsi wacana kader demi menopang gerakan sebagai ekstra parlementer.
Penulis adalah kader PMII Jogja, Rayon Pondok Syahadat
Dimutakhirkan : 12 September 2022