Laci Gagasan, Islam - Dewasa ini interaksi umat beragama semakin beragam corak dan perilakunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kancah global maupun lokal, hampir semua persoalan yang dihadapi masyarakat soal agama dan agama. Entah epidemi apa yang sedang menjangkiti umat beragama di belahan dunia ini.
Seluruh dimensi kehidupan seperti; sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan dsb, semuanya selalu dikaitkan dengan (sesembahan baru) berhala yang disebut agama. Khususnya di Indonesia, soal agama ini sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Agama tidak pernah luput dalam urusan manusia sekecil apa pun, bahkan menjadi mata pisau yang digunakan untuk memotong sekaligus membuat masalah.
Penulis berpendapat bahwa, umat beragama di seluruh dunia khususnya di Indonesia menjadikan agama sebagai berhala, karena sudah menjadi identitas kelompok. Sebagai contoh, kasus kekerasan yang berujung kematian dalam jumlah banyak, di Myanmar. Konflik horizontal yang terjadi di sana, sengaja dikemas atau framing issue agar terjadi konflik yang lebih besar. Dibuatlah isu bahwa, umat Budha disana membantai atau mendiskriminasi umat Islam padahal faktanya bukan soal perang agama.
Akhirnya kejadian ini menyulut emosi umat islam di beberapa negara yang mayoritas Islam, khususnya Indonesia. Selanjutnya kasus yang terjadi di New Zealand pada pertengahan Maret lalu, juga menyita perhatian umat beragama se-dunia. Yang mana umat islam ditembaki secara brutal oleh orang yang dikenal berlatar-belakang agama Kristiani. Kemudian disusul oleh kejadian pengeboman gereja di Sri Lanka. Bentuk kejadian selalu sama dengan latar waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda-beda disetiap aksinya yang bertopeng Agama.
Dari beberapa contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa kelompok semacam ini memang berniat merusak kehidupan manusia dengan menggunakan agama sebagai topeng dibalik itu semua. Tidak hanya agama Islam, agama lainnya pun seperti Kristen, Hindu-Buddha dll, juga dijadikan topeng. Kesimpulannya adalah, kelompok ini ingin merusak agama yang ada dan menyusun kembali dogma dan berhala baru. Yang diganti bukan nama, simbol-simbol, dan ritus keagamaan, tetapi hakikat agama itu sendiri.
Dengan menjadikan agama sebagai berhala yang memiliki efek candu didalamnya, sehingga banyak orang beragama kecanduan. Bukti dari kecanduan ini adalah fenomena masyarakat seperti di Indonesia yang membawa agama beserta Tuhan buatannya ke dalam ruang-ruang privat atau publik yang sifatnya manusiawi dan duniawi. Ada benarnya yang dikatakan pemikir Jerman terkemuka sekitar dua abad yang lalu yaitu; Karl Marx mengatakan bahwa “Agama itu candu”, dan itu terbukti hari ini.
Yang perlu dipelajari dari fenomena kekerasan berkedok agama adalah, tujuan mereka yang ingin menjadikan agama sebagai berhala baru di dunia. Begini alur yang berusaha dibangun oleh para aktor berhala ini; pertama, membangun stigma bahwa kekerasan yang didasari agama adalah jalan Iman. Kedua, mengaburkan ke-Tauhid-an masyarakat dengan menjadikan produk kebudayaan satu suku bangsa menjadi simbol suci sebuah iman dalam agama. Ketiga, mengerdilkan dan menghilangkan hakikat ‘Tuhan Yang Maha Esa’ di muka bumi, dengan menjadikan agama sebagai Tuhan itu sendiri yang perlu dibela.
Dengan dalih membela agama dan memperjuangkan agama, merupakan alasan kuat bagi penulis menyatakan kalau agama adalah berhala baru. Hal ini didasari atas fakta-fakta sejarah umat beragama sejak zaman Nabi Ibrahim a.s. yang mana pada saat itu, sesembahan manusia adalah patung-patung berhala yang perlu dijaga dan dibela mati-matian. Sama halnya yang terjadi hari ini, hampir semua orang melakukan hal itu. Seolah agama ini adalah sebuah benda yang perlu dijaga dan dilindungi dari para pemberontak yang akan menghancurkan patung-patung berhala ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim.
Individu/kelompok yang menyerukan atau melakukan provokasi untuk membela agama, pada dasarnya merusak dan mengkerdilkan Agama beserta Tuhan, meskipun lisannya berteriak dengan lantang soal Tuhan. Gerakan membela agama ini perlu dilihat dari sisi ekomoni, karena individu/kelompok yang mengajak soal ini memiliki keuntungan ekonomis.
Dengan modal yang sederhana tapi mendatangkan keuntungan yang menggunung. Begitu pula dengan apa yang terjadi di zaman Nabi Ibrahim, ketika memerangi Ayahnya yang membuat dan menjual Patung berhala. Sebenarnya bapak nabi Ibrahim tidak menolak tentang Monoteis, tetapi yang ditolak adalah penghancuran agamanya yang nanti akan mendatangkan kerugian karena tidak ada lagi mau membeli patung berhala tersebut. Jadi yang perlu kita semua lakukan adalah hati-hati dalam melihat hal-hal semacam ini.
Merusak Tatanan Kebangsaan
Indonesia ini adalah jantung kehidupan manusia di muka bumi. Jikalau Indonesia sudah hancur, maka di beberapa negara di belahan akan mengikuti pola yang sama. Para agen perusak peradaban manusia (agen Dajjal) ini memahami bahwa Indonesia adalah miniature dan pusat percontohan kehidupan manusia di muka bumi.
Indonesia ini dihuni oleh banyak suku bangsa denga semangat keberagaman, tetapi sejauh ini masih bisa hidup rukun tanpa persoalan yang berarti. Beda halnya dengan Negara-negara yang penduduknya sangat homogen, baik itu di Eropa, Amerika, Afrika, khususnya Timur-Tengah, konflik berdarah terus-menerus terjadi sampai saat ini. Hal yang sama coba dibangun di negara yang damai ini, Indonesia.
Indonesia juga mencatatkan sejarah kelam soal konflik umat beragama, mulai dari tragedi Ambon, Poso dan masih banyak yang lainnya. Tetapi konflik ini berhasil diselesaikan dan didamaikan kembali, sehingga masyarakat bisa hidup rukun kembali seperti biasanya. Tetapi agen Dajjal ini tidak pernah kehabisan akal dan tipu daya.
Jika konflik umat beragama tidak berhasil menghancurkan Indonesia, maka dibuat plan baru yaitu; membangun konflik antar sesama umat dalam satu Agama yang sama. Cara ini sangat ampuh dan semakin menunjukkan keberhasilan yang gemilang, tanpa banyak yang mampu memahami fenomena ini.
Dimulai dari kasus penistaan Agama yang dituduhkan ke Ahok saat masih menjabat sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta, kemudian Pilgub DKI Jakarta, dan puncaknya pada Pilpres hingga saat ini. Agen dan kelompok yang ingin menghancurkan keberagaman di Indonesia memainkan perannya masing-masing. Ada yang menyulap diri menjadi sosok dan kelompok yang paling religius, sekaligus pembela agama tuhan di muka bumi.
Dengan bermodalkan Jubah, sorban, peci, cadar, celana cingkrang, dan tanda hitam di jidat, serta penggalan ayat suci Al-Qur’an yang dikutip Nabi Google, sudah cukup untuk mendaulat diri dan kelompoknya sebagai pembela agama. Pantas saja mereka ini selalu menyerukan pertikaian jika merasa agama mereka dinistakan, karena cara beragamanya saja sangat lemah, hanya bermodalkan hal-hal di atas tadi.
Kehancuran agama Islam sudah semakin nampak dan nyata di depan mata, hanya saja tidak banyak yang memahami itu, apalagi orang awam yang mudah mabuk agama. Coba melihat kembali sejarah agama Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dimana pada saat Baginda Nabi Muhammad SAW. menyiarkan ajaran Islam di jazirah Arab, yang memusuhi dan menghalangi, serta berusaha membunuh Nabi, adalah dari keluarganya sendiri.
Artinya sejak awal, Islam sudah dimusuhi oleh orang-orang yang sama dari dalam tubuh Islam itu sendiri. Apa yang terjadi hari ini pun sama, Islam dihancurkan oleh orang-orang yang mengatasnamakan kelompok mereka sebagai pembela Islam sejati.
Di Indonesia ada banyak sekte, aliran, hingga ormas, yang berusaha menuju pada tujuan mulia, yaitu Islam yang rahmatan lil alamin. Hal yang sangat disesali adalah munculnya beberapa ormas yang mengklaim kebenaran diri/kelompok/ dan atau tujuannya dengan cara-cara yang dilakukan oleh kelompok Jahiliyah pada zaman Nabi Muhammad SAW. ormas inilah yang tadi menyulap agama menjadi candu bagi masyarakat. Disaat semakin banyak masyarakat atau pengikutnya yang mabuk, maka segala macam urusan Negara-bangsa dianggap salah ketika tidak sesuai dengan kepentingan atau nafsu mereka.
Sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”, mari sama-sama mewujudkan kehidupan seluruh bangsa Indonesai yang damai. Semoga pancasila tidak hanya jadi lambang tanpa makna yang dipajang dalam ruangan sekolah, institusi Negara dan pemerintah, tetapi dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dimutakhirkan: 4 Oktober 2022