Laci Gagasan, Mahasiswa --- Predikat sebagai kota pelajar/mahasiswa dan budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y) tentunya menjadi destinasi pendidikan dan wisata. Banyak pendatang dari luar pulau Jawa bahkan manca negara menuju kota ini dengan segudang harapan, khususnya mahasiswa. Bahkan di kota ini, jumlah mahasiswa jauh lebih banyak ketimbang penduduk asli.
Dalam tulisan singkat ini, penulis tidak akan mendeskripsikan kota Jogja dalam dimensi kebudayaan namun dari dimensi pendidikan. Hiruk-pikuk Jogja dengan segudang pelajarnya menjadi sebuah iklim yang berbeda dengan kota-kota lain yang ada di indonesia. Predikat sebagai kota pelajar tentunya bukan sebuah keniscayaan yang turun begitu saja dari langit namun, dinamika pelajar di Jogja yang sangat kental dengan tradisi pengetahuan.
Pada umumnya, mahasiswa memang wajib bergelut dengan tradisi ilmiah. Tapi Jogja dalam tradisi membentuk kecakapan intelektualnya mayoritas di Warung Kopi (warkop). Apa hubungan warkop dengan tradisi pengetahuan mahasiswa Jogja.? Nah di sini akan kita ulas lebih dalam soal itu.
Jumlah kampus berbanding lurus dengan banyaknya warkop. Warkop sudah menjadi rumah intelektual bagi sebagian besar mahasiswa. Namun perlu dicatat bahwa warkop disini bukan tempat kuliah, namun sebagai tempat mengadu gagasan demi terciptanya sebuah wawasan yang lebih dalam dan luas. Intensitas waktu ngopi dan ngampus, jauh lebih banyak di warkop.
Kuliah hanya rutinitas kampus yang tidak mencerdaskan. Maka dari itu warkop sebagai ruang publik menjadi wadah alternatif dalam memproduksi wacana. Mahasiswa dengan berbagai latar-belakang kampus, disiplin ilmu, dan organisasi, berada dalam satu ruang yang ideal dalam pertukaran wacana dan pengetahuan.
Berdasarkan pengalaman penulis selama hidup di Jogja, warkop menjadi sebuah ruang publik yang mencerdaskan. Menghabiskan waktu sehari-semalam dengan diskusi sambil ngopi menjadi warna kehidupan intelektual. Bahkan menyiapkan perangkat aksi (demonstrasi) pun disitu. Warkop adalah ruang publik bagi mahasiswa yang tidak ada duanya bahkan tidak ada tempat selain warkop yang menjamin kondusifitas.
Ambil contoh di UIN Sunan Kalijaga misal, meskipun banyak gedung mewah yang mengelilinya yang membuat mahasiswa menjadi hedon,apatis,dan pragmatis, tetap saja ada banyak warung kopi rakyat yang terselip diantara gedung-gedung tersebut. Warkop seperti; Blandongan dan empat lainnya di Kebon Laras, menjadi tempat alternatif untuk hiburan dan pengetahuan.
Mahasiswa UIN menghabiskan waktunya di warkop untuk berdiskusi bahkan tidur dan mandi pun ada. Dengan modal lima ribu rupiah, kita (mahasiswa UIN) sudah bisa ngopi, nongkrong, dan bertukar gagasan. Bagi kami (mahasiswa) revolusi berangkat dari warkop. Menganalisis permasalahan kenegaraan itu di warkop dan melakukan konsolidasi gerakan pun juga.
Karena kampus semakin di privatisasi (komersialisasi) dan kebebasan berserikat semakin di represif, maka dalam membangun Wacana dan Gerakan, sangat mungkin dan ideal terjadi di warkop. Kebebasan itu sangat nyata, dan dapat dinikmati oleh semua kelompok mahasiswa tanpa terkecuali. Kehidupan aktivis mahasiswa sangat erat dengan budaya dan rutinitas ngopi.
Ngopi di warkop (yang saya sebutkan di atas) tidak hanya mahasiswa UIN tetapi dari kampus lain juga banyak. Bukan persoalan murahnya namun, termpat tersebut sangat aman dan kondusif untuk membahas isu-isu negara. Sampai saat ini belum ada aparat yang melakukan intimidasi secara langsung meskipun, banyak intel yang pura-pura ngopi hanya sekedar memantau dan membaca arah gerak mahasiswa.
Warkop di sekitaran UIN terkenal dengan harganya yang murah serta kopimya yang nikmat sehingga banyak pecinta kopi yang rela menghabiskan waktunya warkop. Berbagai persoalan pun dibahas seperti; pendidikan hari ini yang semakin jauh dari harapan. Wujud nyatanya adalah mahalnya biaya pendidikan dalam bentuk UKT misal. Gerakan menolak komersialisasi pendidikan (UKT) juga dibahas di warkop.
Dimutakhirkan : 18 September 2022