DBHCHT Menolong BPJS Kesehatan

DBHCHT Menolong BPJS Kesehatan

Laci Gagasan, Bisnis --- Tembakau! Bagi masyarakat Indonesia bukanlah hal asing, tetapi sudah melekat dalam diri, khususnya petani tembakau. Tembakau memang bukan tanaman endemik Indonesia, tetapi jenis tanaman yang dibawa oleh para kolonial ratusan tahun lalu. Meskipun begitu, tembakau masih mampu bertahan dan tetap tumbuh di bumi nusantara ini. Walaupun telah ada sejak ratusan tahun lalu dan memberi manfaat bagi perekonomian bangsa Indonesia, tetap saja selalu dikesampingkan oleh pemerintah.

Penting dan perlu diketahui oleh publik, bahwa produk tembakau asli Indonesia berupa Kretek, bukan rokok. Kretek merupakan mahakarya petani tembakau yang hanya ada di Indonesia. Secara sederhana, Kretek merupakan tembakau yang dicampur dengan cengkeh dan saos khusus. Kretek pertama kali diciptakan oleh H. Djamhari di Kudus, pada pertengahan abad 19. Entah kenapa, publik tidak mampu membedakan antara rokok dan kretek, bahkan perokok sekalipun belum tentu paham. Inilah kenapa harus dan pentingnya edukasi bagi perokok. Untuk menyederhanakan penyebutan Kretek bagi masyarakat umum, maka digeneralisasi penyebutan Kretek menjadi rokok.

Pendapatan negara dari cukai rokok sebesar 136,5 Triliun/Tahun. Sebuah angka yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan penghasilan negara dari sektor tambang seperti Freeport yang hanya sebesar 8 Triliun/tahun. Tapi tetap saja pemerintah selalu menganaktirikan industri rokok, dan sibuk mengakuisisi saham Freeport yang itu belum berkontribusi nyata bagi perekonomian negara.

Industri Farmasi global melalui LSM yang mendukungnya, juga terus melakukan kampanye anti rokok, sekaligus pembohongan publik. Pemerintah melalui Perda “Kawasan Tanpa Rokok " sebagai bukti bahwa pemerintah tidak peduli terhadap nasib petani tembakau yang menggantungkan hidup melalui industri rokok. Juga kampanye yang dilakukan oleh dunia kesehatan tentang bahaya merokok. Perlu diketahui bahwa, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bea cukai dan Kemenkeu, alokasi dana kesehatan dari cukai rokok meningkat. Dari tahun 2014, 2015, sampai 2016, sebesar 11,2 Triliun 15,1 Triliun dan 17 Triliun.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCT) atau cukai rokok idealnya digunakan oleh pemerintah untuk mengembangkan industri rokok nasional, swasembada temabakau, edukasi dan pelatihan bagi petani tembakau. Tapi nyatanya dana DBHCHT tersebut malah akan diserap oleh BPJS Kesehatan, yang notabene merupakan bagian dari dunia kesehatan. Kita tahu sendiri, bahwa dunia kesehatan adalah aktor utama yang paling memusuhi tembakau, khususnya rokok. Pada dasarnya, petani tembakau, perokok, serta industri rokok, tidak merasakan dampak dari cukai rokok, justru sebaliknya malah terbebani.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyatakan pemerintah akan menggunakan DBHCHT atau cukai rokok sebesar lima Triliun rupiah untuk mengatasi defisit pendanaan BPJS Kesehatan yang berpotensi mencapai sembilan Triliun rupiah.

Akal sehat macam apa yang bisa menerima perilaku pemerintah dan dunia kesehatan yang mengebiri hak petani tembakau dan perokok, tetapi membebankan masalah pemerintah dan dunia kesehatan pada cukai rokok. Fenomena seperti ini hanya ada di Indonesia, negara kita tercinta yang tidak mencintai rakyatnya.  Alangkah baiknya jika pemerintah juga menggunakan sebagian DBHCHT untuk layanan kesehatan bagi petani tembakau.


Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama