Source: CNN Indonesia
Krisis dan konflik yang terjadi di Suriah
masih terus berlangsung dan belum menemui titik terang perdamaian. Baru-baru
ini koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) menyerang gudang senjata kimia milik
ISIS di Deir ez-Zor yang menewaskan ratusan korban, termasuk warga sipil.
Tindakan AS ini tentu sangat disayangkan, karena dapat memicu koflik berdarah
yang berkepanjangan yang semakin memperparah keadaan. Namun negara Adidaya ini
tidak menghiraukan dampak yang ditimbulkan, malah terus melakukan agresi militer
di Suriah.
Konflik yang terjadi di Suriah tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh kepentingan ekonomi-politik global yang berusaha
merebut sumber minyak yang ada di Suriah. Koalisi pimpinan AS dan Koalisi
pimpinan Rusia terus bertarung memperebutkan pengaruh yang kuat agar salah satu
dari koalisi tersebut menjadi penengah dari koflik yang sedang berlangsung.
Terorisme menjadi isu utama AS dalam
melakukan agresi militer di Suriah. AS menganggap bahwa paham dan aksi
terorisme ini bisa mengancam kestabilan dunia termasuk AS sendiri. Meskipun
terkadang paham dan aksi terorisme hanya menjadi alat politik dan legitimasi
bagi AS untuk ikut campur tangan dan menanamkan pengaruhnya terhadap dunia
Timur.
Sampai saat ini, kedua pimpinan koalisi
tersebut belum juga mampu memberikan pengaruh positif dalam menyelesaikan
konflik di Suriah dan malah semakin memperparah keadaan. Melihat kondisi yang
semakin kusut ini, Indonesia sudah seharusnya terlibat secara langsung dalam
menyelesaikan konflik di Suriah dan berusaha mendamaikan pihak-pihak yang
bertikai.
Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia
pernah menginisiasi sebuah gerakan, yang mana gerakan tersebut menjadi jalan
tengah dari konflik Blok Barat dan Blok Timur saat perang dingin. Gerakan
tersebut adalah Gerakan Non Blok (GNB) yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno
pada saat itu. Mirip tapi tak sama, koflik di Suriah yang juga terdapat dua
koalisi yang saling merebut pengaruh. Indonesia setidaknya mampu menginisiasi
kembali sebuah gerakan dengan negara-negara tertentu, tanpa harus berpihak pada
salah satu koalisi yang itu belum juga mampu menengahi konflik di Suriah.
Karena jika Indonesia berpihak pada salah satu kubu tersebut, maka hanya akan
semakin mempersulit keadaan dan memicu konflik yang berkepanjangan.
Selain daripada konflik yang disebabkan oleh
kepentigan ekonomi politik negara Adidaya, ada hal yang lebih penting kenapa
Indonesia harus terlibat dalam misi perdamaian ini. Persoalan kemanusiaan jauh
lebih penting daripada isu teroris dan gejolak politik di Suriah. Dampak yang
ditimbulkan dari konflik bersenjata di Suriah adalah jatuhnya ratusan bahkan
ribuan korban jiwa termasuk sipil. Konflik bersenjata ini telah mengorbankan
dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan demi kepentingan ekonomi politik global.
Seperti yang telah diamanatkan dalam
pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia sudah seharusnya terlibat dalam
melaksanakan ketertiban dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Indonesia memiliki konsep kenegaraan, keadilan, dan perdamaian
yang itu merupakan modal utama dalam melakukan misi perdamaian di Suriah.
Indonesia tidak seperti AS yang Liberal maupun Rusia yang Komunis, tapi
Indonesia ada di tengah-tengah dari perbedaan kedua negara tersebut.