Source: nuonline |
Paling
lama sebulan setelah OPAK, setiap Rayon di tingkatan fakultas khususnya
fakultas Dakwah melaksanakan pelatihan kader dasar (PKD) karena jika lebih dari
sebulan pasca OPAK, dikhawatirkan para mahasiswa (calon kader) telah
terkontaminasi dengan doktrin-doktrin pragmatis serta ancaman dari dosen yang
melarang mengikuti organisasi ekstra kampus. Mahasiswa baru biasanya masih
labil dan polos, manut apa saja yang dikatakan dosen karena takut dengan
ancaman. Fakta seperti ini sudah setiap tahunnya terjadi di kampus UIN, inilah
yang memacu PMII untuk segera melakukan pengakaderan formal.
Rata-rata
50-an bahkan lebih mahasiswa yang di kader di tingkatan rayon masing-masing.
Dari segi kuantitas, ini jumlah yang menjanjikan untuk gerakan massa PMII,
namun itu hanyalah sebatas jumlah ketika PKD. Pasca PKD keniscayaan untuk
menjaga semuanya agar tetap dalam koridor gerakan.
Anggap
saja 50 yang dapat dikader, paling 10 orang yang dapat konsisten mengikuti
seluruh kegiatan Rayon, selebihnya paling hanya ikut dalam kegiatan-kegiatan
formal saja seperti kepanitiaan dll. Sedangkan yang paling penting adalah
proses ideologisasi lewat baca buku, diskusi, dan aksi.
Refleksi kaderisasi
Kurang
lebih tiga tahun sudah saya di rayon, dan telah melihat setidaknya tiga
angkatan (korp) terakhir sampai tahun 2016, sedangkan korp sebelum saya tidak
terlalu menyita perhatian saya karena tidak bersentuhan langsung dengan proses
mereka sedari awal. Dari tahun 2014-2016, kuantitas kader masih terjaga dan
cenderung bertambah dimana dua angkatan terakhir masing-masing 80-an kader.
Sekilas
tidak ada persoalan, bahkan terlihat begitu progress dalam menjaring kader,
namun ada banyak persoalan di balik kuantitas yang terus bertambah. Beberapa
persoalan itu diantaranya;
1. Pasca PKD lebih dari setengahnya menghilang, tidak sanggup mengemban tanggung-jawab kader menjadi alasan utama menghilangnya kader.
2. Sulitnya menjaga ritme kader yang jumlahnya banyak, mobilisasi kader terseok-seok.
3. Mayoritas kader tidak senang dan sanggup mengikuti proses di Rayon yang 180̊ berbeda dengan lingkungan kampus dan imajinasi kader.
4. Budaya hedon yang dibentuk oleh zaman dan didukung oleh kampus juga berpengaruh besar terhadap militansi kader untuk bergerak melawan status quo, serta.
5. Banyak kader yang mapan secara ekonomi, juga berpengaruh terhadap mental kolektif untuk mau susah-senang bersama dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
Rayon Vs Fakultas
Beberapa
persoalan diatas tidak sepenuhnya berasal dari kinerja pengurus khususnya
kaderisasi dalam melakukan pengawalan dan doktrinasi terhadap kader, tapi
faktor dari kampus sangat berpengaruh besar. Beberapa faktor itu diantaranya;
1. Perubahan kurikulum yang memaksa mahasiswa untuk terus bergelut dengan tugas setiap harinya, membuat kader jadi malas untuk terlibat dalam kegiatan Rayon karena capek ngerjain tugas.
2. Semakin sempitnya ruang public di kampus dapat dikatakan mengamputasi kaki organisasi mahasiswa. Misalnya UIN yang harus tutup pukul 16:00, membuat mahasiswa jadi tidak dapat memanfaatkan ruang-ruang kampus,seperti; kantin, lobi, dll. Yang biasanya digunakan untuk berkumpul dan diskusi.
3. Kampus bagaikan prasasti kuno bagi kehidupan organisasi kemahasiswaan.
4. Mahalnya biaya kuliah yang menjadi filter ganas dalam menyaring mahasiswa yang berasal dari golongan menengah ke bawah, sehingga hanya yang mampu dan berasal dari golongan menengah ke-atas yang banyak mengisi kampus hari ini.3-4 tahun sebelumnya, biaya kuliah di UIN sekitar 600-an ribu. Sehingga banyak mahasiswa UIN yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Poin
ke-4 cukup banyak berpengaruh terhadap corak mahasiswa khususnya kader PMII.
Mahasiswa yang mayoritas dari menengah ke bawah itu cenderung senang
berorganisasi ketimbang yang mapan. Kehidupan organisasi yang tidak biasa dan
terkesan diluar dari zona nyaman, merupakan hal biasa bagi kader yang terbiasa
hidup susah, sedangkan yang tidak terbiasa dan tidak mampu keluar dari zona
nyaman merupakan sesuatu yang sulit.
Dua
tahun terakhir ini, kader-kader PMII banyak dari lingkungan yang bisa dikatakan
mapan dan nyaman. Sehingga ketika melihat kehidupan di organisasi terasa
memberatkan bagi mereka. Mungkin ada yang menyangga asumsi saya yang seperti
ini, karena persoalan yang saya uraikan bukan hal yang baru tapi sudah begitu
adanya dari dulu. Dan menjadi tantangan yang harus diakali dan mencari solusi
dari persoalan seperti ini. Iya itu saya akui benar adanya, namun asumsi saya
ini berdasarkan realitas dan kebijakan dunia pendidikan yang semakin jauh dari
nilai-nilai kemanusiaan.
Saya
meyakini satu hal bahwa Rayon tidak harus mengikuti logika kampus. Idealnya
Rayon harus mengarahkan kadernya untuk kontra terhadap kampus, melihat realitas
pendidikan yang jauh dari cita-cita kemerdekaan. Rayon harus berada disisi
jalan yang berseberangan dengan kampus agar berimbang dan menjadi counter
hegemoni budaya massa yang dibentuk lewat institusi pendidikan.
Rayon
harus merebut dan menjaga kader serta mahasiswa secara umum dari pengaruh
kampus yang membodohkan dan menjauhkan kita dari realitas sosial yang sesungguhnya. Menjaga ritme gerakan
dengan meggerakkan kader untuk banyak baca buku, diskusi dan aksi adalah
rutinitas mutlak sebagai organisasi pergerakan.
Hanya
ada kata lawan dalam menghadapi kampus yang tetap mempertahankan status quo,
karena mengubah tatanan yang dianggap mapan adalah hal yang hampir tidak
mungkin bagi kampus. Maka dari itu rayon harus memberikan alternative terhadap
apa yang sedang terjadi hari ini.
Kalau
hari ini kampus tidak mencerdaskan, maka rayon lewat metode pendidikan yang
manusiawi harus mampu mencerdaskan kader tanpa melihat siapa dan darimana serta
berapa duitnya. Metode pembelajaran di kelas yang membosankan dan hampir
sepenuhnya tidak mendidik, hal ini harus dilirik oleh rayon dengan membentuk
sebuah kelas tandingan yang itu mendidik dan membentuk pola pikir kader yang
cerdas dan kritis.
Kalau
kampus tolak ukur kecerdasan mahasiswa adalah nilai (A/4) yang diperoleh
melalui rajin masuk kelas saja, maka
rayon juga punya yaitu pro aktifnya kader dalam diskusi dan mampu menuangkan
gagasanya dalam bentuk apapun minimal sebuah tulisan. Itu sudah menjadi tolak
ukur paling dasar dalam membentuk kecerdasan dank e-kritis-an kader.
Dimutakhirkan: 1 Januari 2024