Persoalan dan Tantangan Kaderisasi di Tubuh PMII

Persoalan dan Tantangan Kaderisasi di Tubuh PMII

Source: nuonline

Laci Gagasan, PMII - Proses pengkaderan di PMII Jogja banyak dipengaruhi oleh kehidupan kampus, khususnya PMII komisariat UIN-Sunan Kalijaga. Proses penerimaan mahasiswa baru di kampus juga dibarengi dengan persiapan pengurus PMII dari Rayon-Komisariat-Cabang untuk persiapan perekrutan kader baru. Biasanya kegiatan orientasi pengenalan akademik dan kemahasiswaan (OPAK) di UIN menjadi ruang kuasa makna yang harus direbut guna merekrut calon-calon kader dan melakukan ideologisasi secara simbolik. Pasca OPAK barulah perekrutan yang sistematis dan terstruktur dilakukan, seperti pembukaan stand pendaftaran dan kegiatan lain yang menunjang.

Paling lama sebulan setelah OPAK, setiap Rayon di tingkatan fakultas khususnya fakultas Dakwah melaksanakan pelatihan kader dasar (PKD) karena jika lebih dari sebulan pasca OPAK, dikhawatirkan para mahasiswa (calon kader) telah terkontaminasi dengan doktrin-doktrin pragmatis serta ancaman dari dosen yang melarang mengikuti organisasi ekstra kampus. Mahasiswa baru biasanya masih labil dan polos, manut apa saja yang dikatakan dosen karena takut dengan ancaman. Fakta seperti ini sudah setiap tahunnya terjadi di kampus UIN, inilah yang memacu PMII untuk segera melakukan pengakaderan formal.

Rata-rata 50-an bahkan lebih mahasiswa yang di kader di tingkatan rayon masing-masing. Dari segi kuantitas, ini jumlah yang menjanjikan untuk gerakan massa PMII, namun itu hanyalah sebatas jumlah ketika PKD. Pasca PKD keniscayaan untuk menjaga semuanya agar tetap dalam koridor gerakan.

Anggap saja 50 yang dapat dikader, paling 10 orang yang dapat konsisten mengikuti seluruh kegiatan Rayon, selebihnya paling hanya ikut dalam kegiatan-kegiatan formal saja seperti kepanitiaan dll. Sedangkan yang paling penting adalah proses ideologisasi lewat baca buku, diskusi, dan aksi.

Refleksi kaderisasi

Kurang lebih tiga tahun sudah saya di rayon, dan telah melihat setidaknya tiga angkatan (korp) terakhir sampai tahun 2016, sedangkan korp sebelum saya tidak terlalu menyita perhatian saya karena tidak bersentuhan langsung dengan proses mereka sedari awal. Dari tahun 2014-2016, kuantitas kader masih terjaga dan cenderung bertambah dimana dua angkatan terakhir masing-masing 80-an kader.

Sekilas tidak ada persoalan, bahkan terlihat begitu progress dalam menjaring kader, namun ada banyak persoalan di balik kuantitas yang terus bertambah. Beberapa persoalan itu diantaranya;

1.   Pasca PKD lebih dari setengahnya menghilang, tidak sanggup mengemban tanggung-jawab kader menjadi alasan utama menghilangnya kader.

2.     Sulitnya menjaga ritme kader yang jumlahnya banyak, mobilisasi kader terseok-seok.

3.     Mayoritas kader tidak senang dan sanggup mengikuti proses di Rayon yang 180̊ berbeda dengan lingkungan kampus dan imajinasi kader.

4.     Budaya hedon yang dibentuk oleh zaman dan didukung oleh kampus juga berpengaruh besar terhadap militansi kader untuk bergerak melawan status quo, serta.

5.     Banyak kader yang mapan secara ekonomi, juga berpengaruh terhadap mental kolektif untuk mau susah-senang bersama dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.

Rayon Vs Fakultas

Beberapa persoalan diatas tidak sepenuhnya berasal dari kinerja pengurus khususnya kaderisasi dalam melakukan pengawalan dan doktrinasi terhadap kader, tapi faktor dari kampus sangat berpengaruh besar. Beberapa faktor itu diantaranya;

1.     Perubahan kurikulum yang memaksa mahasiswa untuk terus bergelut dengan tugas setiap harinya, membuat kader jadi malas untuk terlibat dalam kegiatan Rayon karena capek ngerjain tugas.

2.     Semakin sempitnya ruang public di kampus dapat dikatakan mengamputasi kaki organisasi mahasiswa. Misalnya UIN yang harus tutup pukul 16:00, membuat mahasiswa jadi tidak dapat memanfaatkan ruang-ruang kampus,seperti; kantin, lobi, dll. Yang biasanya digunakan untuk berkumpul dan diskusi.

3.     Kampus bagaikan prasasti kuno bagi kehidupan organisasi kemahasiswaan.

4.     Mahalnya biaya kuliah yang menjadi filter ganas dalam menyaring mahasiswa yang berasal dari golongan menengah ke bawah, sehingga hanya yang mampu dan berasal dari golongan menengah ke-atas yang banyak mengisi kampus hari ini.3-4 tahun sebelumnya, biaya kuliah di UIN sekitar 600-an ribu. Sehingga banyak mahasiswa UIN yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.

Poin ke-4 cukup banyak berpengaruh terhadap corak mahasiswa khususnya kader PMII. Mahasiswa yang mayoritas dari menengah ke bawah itu cenderung senang berorganisasi ketimbang yang mapan. Kehidupan organisasi yang tidak biasa dan terkesan diluar dari zona nyaman, merupakan hal biasa bagi kader yang terbiasa hidup susah, sedangkan yang tidak terbiasa dan tidak mampu keluar dari zona nyaman merupakan sesuatu yang sulit.

Dua tahun terakhir ini, kader-kader PMII banyak dari lingkungan yang bisa dikatakan mapan dan nyaman. Sehingga ketika melihat kehidupan di organisasi terasa memberatkan bagi mereka. Mungkin ada yang menyangga asumsi saya yang seperti ini, karena persoalan yang saya uraikan bukan hal yang baru tapi sudah begitu adanya dari dulu. Dan menjadi tantangan yang harus diakali dan mencari solusi dari persoalan seperti ini. Iya itu saya akui benar adanya, namun asumsi saya ini berdasarkan realitas dan kebijakan dunia pendidikan yang semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Saya meyakini satu hal bahwa Rayon tidak harus mengikuti logika kampus. Idealnya Rayon harus mengarahkan kadernya untuk kontra terhadap kampus, melihat realitas pendidikan yang jauh dari cita-cita kemerdekaan. Rayon harus berada disisi jalan yang berseberangan dengan kampus agar berimbang dan menjadi counter hegemoni budaya massa yang dibentuk lewat institusi pendidikan.

Rayon harus merebut dan menjaga kader serta mahasiswa secara umum dari pengaruh kampus yang membodohkan dan menjauhkan kita dari realitas sosial  yang sesungguhnya. Menjaga ritme gerakan dengan meggerakkan kader untuk banyak baca buku, diskusi dan aksi adalah rutinitas mutlak sebagai organisasi pergerakan.

Hanya ada kata lawan dalam menghadapi kampus yang tetap mempertahankan status quo, karena mengubah tatanan yang dianggap mapan adalah hal yang hampir tidak mungkin bagi kampus. Maka dari itu rayon harus memberikan alternative terhadap apa yang sedang terjadi hari ini.

Kalau hari ini kampus tidak mencerdaskan, maka rayon lewat metode pendidikan yang manusiawi harus mampu mencerdaskan kader tanpa melihat siapa dan darimana serta berapa duitnya. Metode pembelajaran di kelas yang membosankan dan hampir sepenuhnya tidak mendidik, hal ini harus dilirik oleh rayon dengan membentuk sebuah kelas tandingan yang itu mendidik dan membentuk pola pikir kader yang cerdas dan kritis.

Kalau kampus tolak ukur kecerdasan mahasiswa adalah nilai (A/4) yang diperoleh melalui rajin  masuk kelas saja, maka rayon juga punya yaitu pro aktifnya kader dalam diskusi dan mampu menuangkan gagasanya dalam bentuk apapun minimal sebuah tulisan. Itu sudah menjadi tolak ukur paling dasar dalam membentuk kecerdasan dank e-kritis-an kader.


Dimutakhirkan: 1 Januari 2024

 

Laci Gagasan

Media informasi yang mengangkat isu-isu seputar mahasiswa dan artikel umum terkait ekonomi, bisnis, sosial, politik, sejarah dan budaya

Posting Komentar

komentar yang mengandung spam, tidak akan ditampilkan

Lebih baru Lebih lama